Kekeliruan berpikir tak jarang menyebabkan depresi, ketakutan, keinginan membalas dendam dan berbagai gangguan kejiwaan lainnya.
Di dalam Al-Quran, kekeliruan berpikir disebut dengan zhann yang diterjemahkan dengan “buruk sangka”. Allah berfirman, Jauhi banyak berprasangka buruk. Sebab, ada dosa terselip di sana. Pula, jangan senang mencari-cari dan membicarakan keburukan sesama. Bukankah kau tak suka memakan daging saudaramu yang telah tiada?! Bertakwalah kepada Allah Yang Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang (al-Hujurat: 12).
Jadi, dalam Islam, prasangka buruk atau kekeliruan berpikir dipandang dosa, peringatan keras untuk dijauhi. Mengapa demikian? Sebab, orang yang selalu berprasangka buruk menyimpan kesalahan dalam pola pikirnya. Tak terlihat dari matanya selain kesalahan dan keburukan orang lain. Jika tak ditemukan, ia akan mencari-cari.
Kekeliruan atau kerusakan berpikir bisa disebabkan salah satunya oleh pertengkaran. Jadi, korban pertama dari pertengkaran sesungguhnya adalah pola pikir. Segala kesalahan yang sebelumnya terpendam menjadi mencuat. Masing-masing pihak berusaha memojokkan dengan memaparkan deretan kesalahan lawannya. Jika cara berpikir sudah salah maka apa pun yang dipandang akan tampak salah.
Pola pikir sangat berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. Ada sekian ayat di beberapa Surah Al-Quran, antara lain al-Baqarah: 189, Ali ‘Imran: 130, yang artinya Bertakwalah kepada Allah agar kalian bahagia. Ayat yang menyandingkan ketakwaan dengan kebahagiaan. Dan, salah satu orang bertakwa, seperti dalam ayat Surah al-Hujurat di atas, adalah menjauhi zhann, buruk sangka atau kekeliruan berpikir. Dari situ, kita bisa tahu korelasi pola pikir dengan kejiwaan seseorang.
Saya pernah menjenguk seseorang di ICU. Di sana, ada seorang wanita yang menangis sedemikian histeris karena ibunya meninggal. Ia menangis bukan hanya karena kepergian sang ibu, melainkan juga karena merasa menjadi penyebab kematiannya. Ia berkata dengan histeris bahwa jika saja ia tak membawa ibunya ke rumah sakit itu. Sementara, saudara-saudaranya berusaha menenangkan, menghibur bahwa kematian sang ibu sudah takdir Tuhan. Wanita itu terus menangis histeris, tetap berpikir bahwa kematian sang ibu karena ulahnya. Ia begitu merasa bersalah, atau bahkan sudah pada tingkat depresi. Sebab, salah satu gejala depresi adalah selalu menyalahkan diri.
Atau, misal, seorang ibu yang menyalahkan diri karena prestasi sekolah anaknya yang hancur. Ia akan menyalahkan, bahwa dirinya memang bukan ibu yang baik, tak mampu membuat anaknya berprestasi.
Ya, seperti itulah zhann, kekeliruan berpikir. Dalam psikologi, kekeliruan berpikir, seperti yang dialami wanita di atas, disebut dengan control palsy, yaitu merasa dirinya adalah pengendali alam semesta, merasa bertanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi, termasuk pada contoh kematian
sang ibu atau prestasi anak.
KEKELIRUAN berpikir lainnya adalah sebutan self blame (menyalahkan diri). Contohnya seperti ini: Seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh. Tapi, si istri tak menyalahkan perselingkuhan suaminya itu, tapi justru menyalahkan
diri sendiri. Ia berpikir, barangkali dirinya tak menarik lagi, atau mungkin dirinya seperti ini, seperti itu. Ia menyalahkan diri, seolah-olah menjadi penyebab perselingkuhan suaminya itu. Lalu, justru ia yang meminta maaf kepada suaminya, dan berusaha mengubah diri agar suaminya tak berselingkuh. Ia tak berpikir bahwa atas alasan apa pun, perselingkuhan tetap
yang disalahkan. Maka, seharusnya si suami yang meminta maaf kepada istrinya, dan barulah si istri memaafkan. Memaafkan harus menyalahkan si penyinggung bukan yang tersinggung.
KEMUDIAN, ada juga sebutan over generalization. Misal, kita sering mendengar kata-kata ‘dasar bodoh!’. Padahal, kesalahan yang dilakukan orang yang dimaksud bisa saja terhadap satu atau dua hal, tapi ia disebut bodoh untuk keseluruhan. Dengan mengatakan ‘dasar bodoh!’, seolah-olah orang yang dimaksud selalu bodoh setiap saat.
Over generalization juga bisa kita lihat dalam ramalan zodiak atau shio. Itu semuanya over generalization. Maka, tak perlu kita percaya kepada zodiak atau shio. Itu bagian dari kesalahan berpikir, zhann.
Ada cerita … Bertahun-tahun, seseorang merasa shionya adalah kerbau. Berbagai peristiwa dalam hidupnya memang sesuai dengan ramalan-ramalan shio kerbau. Sampai suatu ketika ditemukanlah akta kelahirannya yang selama ini hilang dan diketahui bahwa shio sebenarnya adalah tikus. Namun,
karena sudah merasa cocok dengan shio kerbau, akhirnya orang tersebut mengubah shio yang sebenarnya, yaitu tikus, menjadi shio kerbau.
Suatu ketika saya makan di sebuah restoran. Saya pilih menu fried chicken. Saat makanan hampir habis, saya lihat ada puntung rokok di piring saya. Dan, sejak saat itu, saya tak pernah datang lagi ke sana. Ini juga over generalization. Kesimpulan yang keliru.
Efek paling parah dari over generalization adalah kehilangan kepercayaan terhadap orang yang bersangkutan. Pikiran kita sudah tertutup untuk menilai-lain orang tersebut. Itulah yang disebut dengan global labelling.
ADA seorang lajang menjabat kepala akuntansi di sebuah kantor. Ia mengajak makan malam salah seorang pegawainya. Namun, pegawai perempuan itu menolak karena suatu alasan. Sejak saat itu, kepala kantor tersebut tak lagi mau mengajak makan malam pegawainya. Ia telah telanjur berkesimpulan bahwa tak satu pun perempuan di kantornya yang tertarik dengannya. Padahal ia baru sekali mengajak pegawainya makan malam, dan kebetulan pegawainya itu menolak.
KESALAHAN berpikir lainnya adalah filtering, yaitu menyaring beragam informasi yang sampai kepada kita, lalu hanya memilih bagian yang dianggap sesuai dengan kecenderungan kita.
Suatu ketika, seorang petani kehilangan kapak, dan mencurigai tetangganya sebagai pencuri kapak itu. Setiap melihat tetangga tersebut, si petani selalu memandang sinis. Ia menunggu perubahan sikap tetangganya itu untuk membuktikan bahwa dia memang pencuri kapaknya. Si tetangga yang merasa ada yang tak biasa dengan tingkah petani itu akhirnya risih juga, dan berusaha menghindar jika bertemu dengannya. Si petani pun akhirnya berkesimpulan, jangan-jangan tetangga itu memang pencuri kapaknya. Jika tidak, kenapa ia merasa risih dan selalu menghindar jika bertemu.
Sampai kemudian, si petani menemukan kapaknya yang ternyata tertimbun tumpukan jerami.
Jika kita mengumpulkan informasi yang hanya sesuai dengan kemauan kita, karena pikiran kita sesungguhnya sudah terarahkan pada satu kesimpulan maka itulah filtering. Gejala filtering juga, misal, jika kita hanya melihat keburukan yang dilakukan seseorang kepada kita dengan mengabaikan kebaikan-kebaikan yang juga pernah ia lakukan.
KEKELIRUAN berpikir lainnya adalah mind reading, yaitu kita seperti bisa membaca pikiran orang yang berisi ejekan kepada kita—padahal hanya dugaan. Orang-orang di sekitar kita seperti meremehkan, menurut pikiran kita.
Ada seorang anak yang bertahun-tahun tidak akur dengan bapaknya. Si anak tidak mau menemui bapaknya karena berpikir bahwa bapaknya tidak mencintainya. Suatu ketika, si anak diminta segera pulang karena bapaknya sedang sekarat. Si anak pun segera pulang. Namun, sayang, sebelum kedua-
nya sempat bertemu, si bapak telah meninggal dunia. Ibunya menyampaikan kepada anaknya itu bahwa sebelum meninggal bapak sempat berkata, ia begitu mencintai dan bangga terhadap anaknya tersebut. Tentu saja si anak menyesal begitu dalam. Selama ini dugaannya keliru.
Begitulah … Kita sering salah duga karena kesimpulan kesimpulan yang keliru.
MENURUT kaum psikolog kognitif, seluruh perasaan kita sesungguhnya lahir dari pikiran, apakah itu perasaan sedih, marah, gembira dan sebagainya. Seorang wanita di atas merasa bersalah dengan kematian ibunya karena ia berpikir, dialah penyebab kematian ibunya—dengan membawa si ibu ke rumah sakit. Ia berpikir, andai saja ibunya tak dibawa ke rumah sakit, barangkali kisahnya akan lain.
Seorang anak menyesal begitu dalam dengan kepergian bapaknya setelah selama ini ia salah sangka, kemudian tahu bahwa sang bapak sesungguhnya demikian cinta dan bangga terhadapnya.
AL-QURAN sudah menegaskan, jauhilah zhann, kekeliruan berpikir, dan berpikir negatif. Jadi, jika terhadap suatu peristiwa kita menyalahkan diri, segera saja kecenderungan itu kita bantah dari dalam jiwa kita sendiri, agar keadaan tetap terkendali. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa diri kita adalah sumber kesalahan. Jauhilah segala prasangka.
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan apa yang pernah Allah firmankan, “Aku menyesuaikan diri dengan prasangka seorang hamba. Aku selalu bersamanya jika ia berdoa kepadaku. Jika ia sebut nama-Ku di hatinya, Kusebut namanya di hati-Ku” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Jadi, jika kita berpikir positif, berprasangka baik kepada diri kita maka Allah akan memberi kebaikan dan ketenangan. Demikian sebaliknya, jika benak kita dipenuhi prasangka buruk maka kesempitan jiwa yang akan kita dapatkan, semua yang terlihat akan tampak buruk.
Sekadar berpikir positif saja sudah baik, meski tanpa bukti yang mengarah ke situ. Namun, akan lebih baik lagi jika pikiran-pikiran positif kita terhadap sesuatu disertai dengan bukti-bukti yang membenarkan pikiran kita. Jadi, pikiran kita tidak tertipu. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).