Prasangka Buruk

RASULULLAH bersabda, “Dosa paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah” (akbar al-kabair su’u al-zhann billah).

Saya memiliki anak bungsu yang sering sakit. Di antara anak-anak saya, dialah yang paling rajin kirim sms, dan selalu mengakhiri pesannya dengan “I love you, Daddy”, apa pun isi pesan itu.

Suatu ketika dia mengirim sms, mengeluhkan keadaannya yang mudah sakit, “Daddy, i think God doesn’t love me anymore. He want to punish me for what I have done” Saya tak membalas pesannya itu dengan sms, tapi menggunakan surat, sebab, perlu penjelasan panjang yang tak cukup hanya dengan sms. Dalam surat itu, saya katakan, kamu telah berprasangka buruk kepada Tuhan. Kamu kira Tuhan tidak sayang lagi kepadamu, padahal setiap hari Ia mencurahkan kasih sayang dan anugerah-Nya. Tapi, kamu malah menganggap Tuhan sebagai tukang hukum.

Itu seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, Bila Tuhan memberi kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berpikir bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu (al-Fajr: 15-17).

Terkait dengan berprasangka buruk ini, ada sabda Rasulullah yang menurut saya cukup menarik, “Kepengecutan, kebakhilan, dan kerakusan merupakan satu sifat.” Maksudnya, semua sifat itu sama-sama lahir dari prasangka buruk. Orang menjadi penakut dan pengecut sesungguhnya lahir dari pikirannya yang penuh dengan prasangka buruk tentang ketakutan-ketakutan. Orang menjadi bakhil, pelit, sebab, menurut pikiran buruknya, jika harta-hartanya dikeluarkan, ia akan bangkrut dan jatuh miskin. Pikiran-pikiran buruk itu selalu diembuskan setan.

ADA sabda Rasulullah yang kurang lebih demikian, “Dugalah perilaku seseorang dengan hal paling baik sampai kau yakin keburukannya benar-benar terbukti di matamu. Jangan pernah menilai-buruk ucapan seseorang sampai kautahu alasan kenapa ia mengucapkannya.”

Jadi, kita mesti menerapkan asas praduga tak bersalah pada setiap peristiwa. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum bukti-bukti dan alasan-alasan secara komprehensif terkumpul. Itu sama dengan husn al-zhann, berprasangka baik, kebalikan dari suu al-zhann, berprasangka buruk.

Berprasangka baik sajalah agar jiwa kita tenang. Sebab, berprasangka buruk menjadikan seseorang takut dan cemas terhadap sesuatu yang sebetulnya belum pasti terjadi, membuat hidupnya tidak tenang dan gelisah.

Suatu saat, saya harus menghadiri sebuah pernikahan …

Keluar dari bandara, jalanan macet dan seketika saya langsung menduga-duga, saya pasti telat, padahal harus menyampaikan khotbah nikah. Jika demikian, tuan rumah yang mengundang saya pasti akan kecewa. Lalu, orang-orang pun tidak akan percaya lagi dengan saya. Dalam mobil, di sepanjang perjalanan yang macet itu, saya gelisah sendiri. Bermacam pikiran buruk memperkeruh pikiran saya.

Namun, akhirnya, saya tersadar dan berusaha bersikap tenang. Pikiran-pikiran gelisah saya singkirkan. Saya tetap telat menghadiri pernikahan dan memberikan khotbahnya, meski keadaannya tak seburuk seperti yang saya bayangkan.

DALAM buku saya yang berjudul Meraih Kebahagiaan, saya tulis kisah yang diambil dari buku Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield dkk….

Ada seorang pengendara mobil yang kebelet buang air. Ia menghentikan mobilnya, lalu mencari-cari toilet. Tak ketemu juga, akhirnya ia menjumpai seorang polisi dan menanyakan tentang toilet itu. Kemudian Polisi menunjuk komplek pemakaman, barangkali di sana ada. Masuklah laki-laki itu ke komplek dengan tergesa-gesa dan gelisah. Laki-laki itu semakin gelisah, saat memasuki komplek itu ia harus mengisi buku tamu. Ia pun membubuhkan nama, alamat, nomor telepon, dan tanda tangan dengan sedikit dongkol.

Singkat cerita, sekian minggu kemudian, laki-laki itu ditelepon oleh seorang pengacara di New York, terkait soal isi buku tamu di komplek pemakaman. Si pengacara meminta laki-laki tersebut segera mendatangi kantornya di New York. Laki-laki itu kaget dengan panggilan si pengacara. Apa salahku sampai harus datang ke kantor pengacara, pikir laki-laki itu. Ia menduga-duga, jangan-jangan karena kasus buang air di komplek pemakaman itu. Laki-laki itu pun datang ke kantor si pengacara dengan membawa kartu identitas seperti yang diminta pengacara itu, dan tentu saja dengan hati gelisah.

Setelah sampai, si pengacara pun mengutarakan maksudnya memanggil laki-laki itu. Si pengacara bercerita, ada orang yang termasuk terkaya di New York ini. Namun, kehidupannya sepi, sendiri, karena tak punya keluarga. Kawan-kawannya pun menjauhinya. Sebab, selama hidup, orang itu merasa bahwa orang-orang yang berusaha mendekatinya selalu untuk urusan uang, orang yang datang kepadanya selalu dicurigai hendak menipu atau mengambil hartanya. Lantas, karena tak ada kawan dan keluarga semasa hidup, ia berpikir, jika meninggal kelak, pastilah tidak ada orang yang akan datang ke pemakamannya. Sebab itu, ia berwasiat, setengah dari kekayaannya akan diberikan kepada siapa saja yang mau menghadiri pemakamannya, memberikan penghormatan terakhir.

Orang itu kemudian meninggal. Dan saat pemakaman, dibuatlah buku tamu untuk mengetahui siapa saja yang menghadiri pemakaman itu. Dan ternyata, laki-laki yang kebelet buang air itulah satu-satunya orang yang mengisi buku

tamu tersebut. Ia pun berhak mendapatkan setengah dari kekayaan orang terkaya di New York itu.

Laki-laki itu pun akhirnya lega. Awalnya dia mengira akan tersangkut kasus hukum yang membuatnya cemas dan gelisah.

Ya, begitulah. Terkadang kita terlalu mencemaskan masa depan yang sesungguhnya belum tentu seperti yang kita pikirkan. Dan, semua itu lahir dari prasangka buruk yang menyelubungi pikiran kita.

DALAM Al-Quran, Allah berfirman, menunjuk orang-orang yang tak ikut berperang karena berprasangka buruk bahwa mereka yang bergabung dalam pasukan perang bersama Rasulullah tidak akan kembali kepada keluarga masing-masing, selamanya. Allah berfirman, Setan telah menghias prasangka itu di hati kalian. Kalian telah berprasangka buruk. Maka, jadilah kalian kaum yang menderita (al-Fath: 12).

Jadi, saat para sahabat bersemangat berjuang bersama Rasulullah, ada sementara orang yang pesimis yang mengkhawatirkan akan terjadi hal buruk jika ikut peperangan itu.

Kenapa pada satu realitas yang sama, dalam hal ini peperangan pimpinan Rasulullah, sebagian para sahabat begitu penuh semangat bergabung, sementara, sebagian yang lain cemas, takut terbunuh, tidak akan kembali kepada keluarga, sehingga mereka tidak berani bergabung dalam peperangan itu? Semua itu bermula dari cara berpikir: prasangka baik sebagian para sahabat mendorong mereka bergabung bersama Rasulullah, prasangka buruk menyebabkan sebagian yang lain enggan bergabung.

Kenapa itu terjadi? Kita akan lihat dari sisi ilmiah …

Secara psikologis, buruk sangka memang menyebabkan berbagai penderitaan jiwa: marah, cemas, dan beragam emosi negatif lainnya.

Di otak manusia, ada bagian yang disebut amigdala (amygdale), yaitu bagian otak yang berfungsi memproses emosi. Kita mesti memahami ini agar dapat mengendalikan diri saat emosi.

Pada kondisi emosional, amygdale memegang peranan yang sangat menentukan. Hal ini disebabkan amygdale memindai semua informasi yang masuk melalui pancaindra dengan pertanyaan yang sangat sederhana, bahkan primitif, seperti: Apakah yang Anda hadapi ini adalah hal yang Anda benci/takuti? Jika jawaban pertanyaan itu adalah “ya” maka amygdale mengirimkan sinyal ke semua bagian otak untuk siaga. Jika jawabannya adalah “tidak” maka otak akan mengirimkan sinyal aman. Jadi, bisa dibuat analogi bahwa amygdale itu semacam alarm yang akan berbunyi jika terjadi kebakaran atau semisalnya.

Ketika sebagian para sahabat melihat bahwa peperangan bersama Rasulullah itu hanya mengantarkan nyawa pada kematian, dan pasti akan membawa kesedihan pada keluarga yang ditinggalkan, segera saja amygdale dalam otak mereka memberi sinyal siaga: peperangan itu harus dihindari. Merekalah orang-orang yang cemas, yang jiwa mereka menderita. Berbeda dengan para sahabat yang melihat peperangan saat itu sebagai manifestasi pembelaan kepada agama, amygdale mereka memberi sinyal bahwa peperangan itu adalah sesuatu yang baik sehingga mereka tak gentar bergabung bersama Rasulullah. Maka, baiklah kita selalu melatih diri untuk selalu berprasangka baik. Sebab, dari situlah kebahagiaan jiwa bermula.

HANYA dalam tiga hal ini kita boleh berprasangka buruk, pertama, terhadap musuh atau di daerah yang tak aman. Dalam peperangan, misalnya, kita harus sû’u al-zhann. Jika melihat musuh menghampiri, kita tidak boleh berprasangka baik: ah, barangkali dia mau memberikan pedangnya atau minumannya. Dalam kondisi perang seperti itu, kita harus berpikir bahwa setiap musuh yang menghampiri pasti hendak menghunuskan pedangnya.

Dalam konteks keseharian, misal, jika naik bis, kereta, atau sejenisnya, di mana kita sama sekali tak mengenal satu sama lain, kita mesti sû’u al-zhann. Kita tidak pernah tahu, orang yang duduk di samping kita itu benar-benar penumpang atau sesungguhnya adalah copet. Kita mesti berprasangka buruk, misal, kepada orang yang sama sekali tak kenal dan baru berjumpa, yang memberi makanan atau minuman. Siapa tahu dia adalah penjahat yang telah memberi obat bius dalam makanan atau minuman tersebut. Kemungkinan-kemungkinan semacam itu mesti kita pertimbangkan dalam pikiran kita.

Semua sû’u al-zhann atau waspada itu adalah dalam rangka menyelamatkan diri kita. Kedua, dalam memberi amanah. Kita harus berhati-hati dalam memberikan kepercayaan kepada orang. Kita harus benar-benar kenal orang tersebut.

Suatu ketika, ada yang datang kepada saya, meminta saya menjadi bapak asuh untuk beberapa anak tak mampu di sekitar Majalengka agar tetap bisa melanjutkan sekolah dasar. Awalnya, saya hanya menjadi bapak asuh untuk lima belas anak. Kebutuhan pendidikan mereka saya jamin. Lalu, orang itu juga saya bawa kepada ibu-ibu di Jakarta. Dan, bertambahlah anak-anak asuh itu sampai berjumlah sekitar tujuh ratusan. Semua itu berlangsung sekitar satu tahun. Selama itu pula, saya tidak pernah tahu tentang anak-anak yang menjadi asuhan saya itu. Saya hanya memercayakan saja kepada orang tersebut.

Suatu ketika, saya meminta mahasiswa saya untuk melakukan penelitian di daerah tempat anak-anak asuh itu tinggal, mendatangi SD mereka.

Mencengangkan! Ternyata sekolah-sekolah yang disebut oleh orang yang mendatangi saya itu fiktif. Memang ada beberapa sekolah yang benar adanya. Namun, pihak sekolah mengatakan bahwa memang ada orang yang menjanjikan bantuan untuk sekolah tersebut, tapi, ternyata bantuan itu tak pernah datang. Artinya, selama ini saya dan beberapa ibu-ibu di Jakarta tertipu. Tentu saja setelah itu kami menghentikan sama sekali bantuan itu. Dan awalnya, kami berniat mengadukan ini ke polisi untuk kasus penipuan, namun, kami urungkan.

Jadi, begitulah, kita mesti hati-hati betul soal kepercayaan ini. Orang yang kita kenal baik pun belum tentu adalah orang dapat dipercaya.

Ketiga, terkait soal ilmu agama. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian sumber-sumber keagamaan. Dalam tradisi ilmu hadis, misalkan, hadis yang sampai kepada kita, yang bisa kita baca di kitab-kitab hadis itu, Shahih al-Bukhari, misalkan, untuk dikatakan sahih, valid, sehingga bisa menjadi sandaran hukum, sudah melewati pengujian ketat terhadap para periwayat hadis itu. Imam Bukhari, penulis kitab itu, telah meneliti jati diri dan kapasitas keilmuan para periwayat hadis yang ia tulis dalam kitabnya tersebut. Dalam proses penelitian itu, tentu saja bukan asal anggap saja. Semua periwayat yang diteliti, dianggap dengan asumsi awal bahwa mereka belum tentu baik sampai terbukti para periwayat tersebut sudah sesuai standar keilmuan, sehingga hadisnya dapat digunakan sebagai sandaran hukum.

Semua itu dilakukan untuk memelihara sumber-sumber keagamaan agar tak dipalsukan. Maka, kita tahu, ada hadis-hadis palsu, artinya sebuah hadis disandarkan kepada Rasulullah, padahal ia tak pernah mengucapkannya. Biasanya, penyandaran semacam itu dilakukan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan tertentu. JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *