Diam itu Dosa

Ketika Mar’ie Muhammad mengucapkan kata perpisahan, ia meminta maaf, seperti biasa. Tetapi kali ini, Mar’ie menambah ungkapan klise. Selain meminta maaf atas ucapan, tindakan, gerak-geriknya selama menjadi menteri, ia juga meminta maaf atas tutup mulutnya (sambil meletakkan ibu jari di mulutnya). Ia mohon maaf bukan saja untuk apa yang ia ucapkan, tetapi juga apa yang ia bungkamkan.

 

Ajaib. Anda bisa berdosa karena ucapan Anda. Tetapi apakah Anda berdosa karena diam, bungkam, atau tidak bicara? Bukankah diam itu emas? Bukankah diam berarti pengendalian diri? Selama ini kita diajari untuk diam dan memandang diam sebagai amal saleh yang utama. Kita mungkin merujuk kepada al-Ghazali yang menyebut keburukan bicara dan keutamaan diam. Diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmat.

 

Tiba-tiba Mar’ie mengingatkan kita ada diam yang dosa dan, untuk itu, kita harus minta maaf. Yang mohon maaf karena diam itu adalah orang yang mengisi saat-saat terakhir jabatannya dengan kesibukan memberi keterangan. Rupanya, banyak yang ia katakan; tetapi lebih banyak lagi yang ia diamkan. Dan Mr. Clean minta maaf untuk keduanya. Sebagaimana tidak semua berbicara berdosa, tidak semua diam berpahala. Tidak semua diam emas. Ada juga diam yang sampah dan menyembunyikan kebusukan. Untuk sementara, kita dapat menyebut empat diam yang dosa.

 

Pertama, Anda diam ketika kemungkaran dilakukan terang-terangan di depan Anda. Nabi saw. menyebut salah satu yang dilaknat Allah adalah suami yang diam melihat istrinya berbuat maksiat. (Maksud Nabi saw. tentu saja meliputi juga istri yang diam melihat suaminya berbuat dosa). Al-quran menyebut laknat yang ditimpakan kepada Bani Israil melalui lidah Dâwûd dan ‘Iså a.s. karena mereka diam melakukan kemungkaran di antara mereka: Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat (QS 5:78-79). Salah satu kemungkaran yang dibiarkan Bani Israil waktu itu adalah kezaliman dan penindasan. ‘Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa kerja sama antara yang menzalimi dan yang dizalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman. ‘Ali bin Husayn, cucu ‘Ali, berdoa, “Tuhanku, ampuni aku bila di sampingku ada orang yang dizalimi dan aku diam.” Diam di sini dapat berarti izin, seperti diamnya seorang perempuan ketika dipinang, atau diamnya aparat hukum ketika seorang yang berkuasa melakukan pelanggaran. Mengizinkan kezaliman sama besar dosanya dengan melakukan kezaliman itu sendiri.

 

Kedua, diam itu dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Rasulullah saw. berkata, “Jika seorang ‘alim (pemilik informasi) ditanya, lalu ia (diam) menyembunyikan informasinya itu, ia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” Berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak mengajarkan ilmunya; seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan petunjuk; seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya. Pada tahun ’80-an, Challenger, pesawat ruang angkasa AS, meledak pada saat peluncuran dan membunuh semua krunya. Penyebabnya diduga karena salah satu bagian pesawat, Oring, meleleh dalam temperatur tertentu. Para insinyur sudah lama mengetahuinya, tetapi mereka tidak melaporkannya karena takut dikecam oleh pimpinannya. Mereka tutup mulut. Diam mereka itu dosa. Diamnya menyelamatkan mereka tetapi mencelakakan orang banyak. Ketika para ulama, cendekiawan, dan orang-orang pintar diam melihat kerusakan Titanic negeri ini demi kepentingan sesaat, mereka ikut bertanggung jawab jika kapal ini tenggelam.

 

Ketiga, diam yang dosa adalah tidak mau berbicara selama tidak berkaitan dengan keuntungan dirinya. “Tahukah kalian,” kata Jalaluddin Rûmî kepada para pengikutnya, “mengapa Al-quran menyebut:… Sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai?” (QS 31:19). Dahulu, ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya.” Banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak: hutan terbakar, kemarau panjang, banyak orang kelaparan. Mereka diam. Masyarakat boleh resah: jutaan orang kehilangan pekerjaan karena krisis moneter, jutaan bayi mati karena krisis menetek. Mereka diam. Begitu mereka dihadapkan pada persoalan gaji dan tunjangan mereka sendiri, mereka angkat bicara. Segera setelah tuntutan kenaikan gaji mereka dipenuhi, mereka sunyi kembali. Ada juga orang yang bersuara keras, vokal, dan kritis. Di mana-mana ia menjadi singa mimbar. Ia dikenal sebagai pengikut garis keras. Tiba-tiba suaranya hilang. Rupanya ia kini sudah menduduki jabatan yang basah di tengah-tengah orang yang dahulu dikecamnya. Rupanya, suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar.

 

Keempat, diam itu dosa, ketika Anda tidak mengakui kesalahan yang Anda lakukan. Anda melakukan kesalahan yang amat-amat merugikan masyarakat. Orang banyak meminta pertanggungjawaban Anda. Anda diam. Anda menjadi lautan yang isinya tidak terlihat. Anda menjadi patung yang kaku, tanpa ekspresi. Begitu Anda menemukan kambing hitam, Anda berteriak dengan suara yang mengalahkan halilintar.

 

Kita tidak tahu mengapa Mar’ie minta maaf untuk tutup mulutnya. Apakah karena ia pernah diam menyaksikan kezaliman, atau karena informasi yang tidak berani ia sampaikan? Tetapi saya yakin, Mar’ie tidak diam karena sudah dipenuhi kebutuhan makannya. Suara Mari’e bukan suara keledai. Juga, Mar’ie tidak diam karena menyembunyikan kesalahannya. Ia terkenal sebagai orang yang bersih. Kita pasti memaafkan Mar’ie atas diamnya. Kita maklum. Terima kasih, Pak Mar’ie. Semoga Tuhan selalu memberkatimu. JR Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

 

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *