
Ketika kita berhadapan dengan saat-saat pertama dan saat-saat terakhir, kita selalu dihadapkan pada anggapan-anggapan tentang waktu. Pada saat datangnya tahun baru misalnya, ada orang yang berusaha menyambutnya dengan cara-cara tertentu. Ia menduga bahwa tahun baru itu akan memengaruhi nasibnya, baik atau buruk. Akibatnya, waktu yang pertama atau seperti juga waktu yang terakhir sering diterima orang dengan penuh kecemasan dan harapan.
Dalam tulisan ini, kita ingin membicarakan tentang konsepsi waktu dalam Islam, juga mitos-mitos atau anggapan-anggapan manusia yang salah tentang waktu.
Mitos Pertama:
Waktu Membinasakan dan Menguntungkan
Orang sering menganggap waktu sebagai sesuatu yang membinasakan, mencelakakan, membahagiakan, dan mendatangkan keberuntungan. Misalnya, ketika seseorang tengah berada dalam keadaan sulit, biasanya ia akan mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman yang rusak. Begitu pula ketika mendapatkan keberuntungan, ia akan menganggap bahwa waktulah yang mendatangkan keberuntungan tersebut.
Terkait hal ini, Allah Swt. “menyindir” mitos ini dalam Al-Quran, ketika Dia berbicara tentang ad-dahr (masa). “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja,” (QS. Al-Jâtsiyah [45]: 24).
Orang cenderung menyalahkan waktu, terutama ketika ia mendapatkan kekecewaan, atau ketika ia tidak dapat hidup sesuai dengan standar yang diinginkannya. Padahal, Rasulullah Saw. melarang kita untuk mencela waktu. Beliau bersabda, “Janganlah kalian mencaci-maki waktu.”
Mengapa Rasulullah yang mulia sampai berkata seperti itu? Karena, apabila kita berpandangan bahwa waktu menyebabkan kecelakaan dan keberuntungan, pada saat yang sama kita telah memproyeksikan diri kita sendiri ke dalamnya. Itulah mitos tipuan yang sering dipakai orang untuk menghindari tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Ali bin Muhammad Ar-Ridha mengungkapkan sebuah syair, “Manusia umumnya menyalahkan zaman, padahal zaman itu tidak punya kesalahan selain kesalalahan diri kita sendiri.”
Begitulah, kita menjelek-jelekkan zaman kita, padahal kejelekan itu ada pada kita. Seandainya zaman bisa berbicara, maka ia akan mendakwa kita, (Mizan Al-Hikmah, IV: 235-236).
Ketika orangtua mendapati anak-anaknya mulai berani melawan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, orangtua kerap melakuan pembelaan, “Memang sekarang zamannya seperti ini.” Ketika para pemuda kecewa melihat tingkah laku orangtuanya, dan mereka melakukan protes, maka orangtuanya akan segera berkata, “Memang, sekarang ini zamannya sudah jelek.” Zaman dipersalahkan karena ketidakmampuan manusia untuk mengisi dan memanfaatkannya.
Ketika datang tahun baru, orang-orang akan segera menyambutnya dengan berbagai macam cara, karena mereka telah jatuh pada mitos ini. Mereka menganggap bahwa bahwa zaman yang akan datang akan banyak memengaruhi kondisi kehidupannya. Mereka lupa bahwa dirinya sendiri yang akan menentukan zaman yang akan datang itu, baik ataupun buruk.
Orang Arab mengatakan, “Waktu itu seperti pedang. Kalau engkau tidak memotong waktu itu, maka dialah yang akan memotongmu.” Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa kitalah yang menentukan bagaimana cara memanfaatkan waktu yang telah Allah karuniakan. Kitalah yang menentukan masa depan, bukan waktu.
Memang, pada setiap masa selalu akan ada orang-orang yang mencaci kondisi zaman di mana ia hidup. Kalau kita menelaah kitab Ihya Ulumuddin, kita akan mendapatkan bagaimana Imam Al-Ghazali menceritakan suatu zaman yang kacau balau. Apa yang diceritakan Al-Ghazali di zamannya- misalnya tentang ulama yang menjual lawakan di mimbar-mimbar sama seperti yang kita alami sekarang ini. Sepanjang sejarah ada saja orang yang menghabiskan waktunya untuk mencaci-maki zaman. Ia tidak melakukan tindakan apa pun untuk memperbaiki zaman dan generasinya.
Mitos Kedua:
Waktu Memberikan Pertanda Nasib
Anggapan tentang datangnya permulaan suatu waktu yang dipercayai sebagai pertanda akan datangnya suatu peristiwa, juga termasuk ke dalam salah satu mitos waktu. Aneka peristiwa alam yang terjadi, seperti peredaran matahari, bulan, dan bintang, yang menurut ajaran Islam diciptakan Allah untuk menentukan tongak-tonggak waktu, sering dijadikan orang sebagai pertanda akan nasib baik dan nasib buruk.
Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memercayai takhayul-takhayul seperti itu. Ketika Ibrahim, putra beliau meninggal dunia, lalu pada malam harinya terjadi gerhana, dengan segera Rasulullah Saw. mengumpulkan para sahabat untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya matahari dan bulan adalah satu tanda keagungan Allah Swt. Terjadinya gerhana bukan karena kematian dan kehidupan seseorang.
Perkataan tersebut beliau sampaikan pada saat orang-orang Arab menganggap adanya hubungan antara gerakan alam semesta dengan meninggalkan Ibrahim.
Mitos Ketiga:
Waktu Itu Berlimpah
Mitos lain tentang waktu adalah anggapan bahwa waktu itu berlimpah. Akibatnya, banyak orang menangguhkan pekerjaan pada waktu yang lain. Ia mengira masih ada waktu untuk mengerjakan pekerjaannya. Perilaku menunda-nunda seperti itu, disebut Rasulullah Saw. taswif, yaitu menangguhkan suatu amal untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang. Islam tidak membenarkan perilaku semacam itu.
Rasulullah Saw. pernah menasihati Abu Dzar, “Jauhilah olehmu taswif (anggapan bahwa waktu itu banyak). Engkau hidup pada harimu yang sekarang dan engkau bukan hidup pada zaman sesudah itu. Andaikan ada zaman nanti, seperti yang engkau alami, engkau tidak akan menyesal dengan apa yang engkau hilangkan pada hari in,” (Biharul Anwar, 77: 75).
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda pula, “Bagi orang Mukmin, tidak henti-hentinya kesibukan datang kepadanya sampai maut menjemputnya.”
Sedangkan dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengansungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap,” (QS. Alam Nasyrah [94]: 7-8).
Pandangan Islam tentang Waktu
Islam memandang waktu sebagai karunia Allah untuk diisi dengan amal saleh. Allah Swt. berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk [67]:2).
Kalau orang Barat memandang waktu sebagai uang dan penambahan waktu harus dikorelasikan dengan penambahan uang, maka Islam menganggap bahwa waktu harus dihubungkan dengan amal saleh. Waktu yang kita miliki di dunia ini harus berkorelasi dengan amal saleh yang kita lakukan di dunia. Artinya, semakin banyak waktu kita hidup, harusnya semakin banyak pula amal saleh yang kita lakukan. Sebab, Allah Swt. menjadikan hidup dan mati itu untuk amal saleh.
Oleh karena itu, dalam Islam, orang diukur bukan dari segi lamanya hidup di dunia, akan tetapi dari amal saleh yang dilakukannya. Allah Swt. berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).
Islam tidak mengukur derajat seseorang dari lamanya waktu yang ia peroleh selama hidup, akan tetapi dari banyaknya waktu yang ia pergunakan untuk beramal saleh. Allah Swt. berfirman, “Dan setiap orang memperoleh derajat yang seimbang dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan,” (QS. Al-An’am [6]: 132). JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).