
Allah menyebutkan dalam Al-Quran. Allah bersama kamu di mana pun kamu berada. Ainamâ tuwallû fatsama wajhallah, ke mana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Allah. Seakan-akan Ibn Arabi berkata begini, “Kamu baca ayat Al-Quran itu, ke mana pun kamu menghadap yang ada adalah wajah Allah. Sekarang hadapkan wajah kamu ke mana pun, apa yang kamu lihat? Yang kamu lihat adalah bukan wajah Allah.” Ke mana pun kita melihat. yang kita lihat adalah yang bukan Allah. Padahal Al-Quran mengatakan seperti tadi. Tetapi sekarang ini secara praktis, secara realistis, coba kita melihat ke mana pun! Yang kita lihat adalah selain Allah. Ibn ‘Arabi berkata tentang huwa dan lå huwa. Dia dan ada yang bukan Dia. Menurut ayat itu, mestinya ke mana pun kita menghadap. yang ada hanya Dia.
Misalnya sekarang ini yang kita lihat ada botol aqua, ada bapak-bapak, dan lain sebagainya. Lalu di mana Dia, aina huwa? Itu artinya, secara hakiki memang Tuhan beserta kita, lebih dekat dari urat leher kita. Bahkan Dia bersama kita ke mana pun kita pergi. Kita saja yang tidak bersama Dia. Kita saja yag tidak menempatkan diri kita bersama Dia. Sehingga kita tidak bisa menyaksikan-Nya, dan yang kita saksikan hanya selain Dia, hanya la huwa saja. Kita tidak bisa menyaksikan huwa itu sendiri.
Ada juga orang bercerita bahwa melihat Dia itu bertahap-tahap. Tahap pertama hanya menyaksikan perbuatan Dia, af’âl Dia. Ketika kita melihat alam lahir ini – gemintang, gunung. manusia, hewan – kita sebenarnya melihat perbuatan Allah Swt, sebenarnya kita melihat Allah di balik perbuatan itu. Setelah itu kita meningkat melihat sifat-sifat-Nya di seluruh alam semesta ini. Yang kita lihat tajalliyat atau manifestasi dari sifat-sifat Allah. Ketika kita menyaksikan seorang dermawan yang membagikan hartanya untuk membahagiakan orang-orang yang lebih malang di sekitarnya, maka yang kita lihat Rahman-Rahim Allah Swt. dan seterusnya. Yang paling tinggi dari yang kita lihat adalah Zat-Nya. Dari af’âl, ke sifat, sampai zat. Dan itu-lah sebuah sayr ilallah, yang menjadi penyaksian, witnessing, atau mukasyafah.
Sebetulnya memang Allah bersama kita. Allah selalu berada di samping kita. Seorang dokter Jerman menulis buku dengan judul Neben Uns Steht Gott. Tapi dari pengalaman dia di medan pertempuran, ketika dia mengobati orang-orang yang sakit, dia seringkali menemukan yang secara medis orang itu tidak bisa diselamatkan, tapi akhirnya selamat juga.
Jadi dia menulis bahwa neben uns itu memang ada Allah. Yang dia saksikan adalah karya-karya Tuhan di alam semesta ini. Bahwa Tuhan itu selalu melakukan intervensi di dalam kehidupan kita itu. Dokter Jerman itu sudah sampai ke af ål. Jadi sekali lagi. Tuhan itu with us, tapi we are not always with Him.
Ada sebuah doa dari Imam ‘Ali Zainal Abidin. Doa-doa beliau ini saya coba terjemahkan dengan bagus ke dalam bahasa Indonesia. dalam buku Shahifah Sajjadiyah, itu doa orang suci. Di antaranya dalam doa itu Imam Ali Zainal Abidin berkata begini:
Tuhanku setiap saat Engkau berkhidmat melayani keperluanku
Seakan-akan tidak ada lagi hamba yang selain aku
Tapi setiap saat para malaikat mengantarkan kemaksiatanku kepada-Mu,
Seakan-akan aku punya Tuhan selain
Kamu
Jadi Tuhan sendiri menyertai kita, melayani seluruh keperluan kita, seakan-akan tidak ada hamba yang lain yang dilayani Dia. Tetapi setiap saat juga kita maksiat kepada-Nya seakan-akan kita punya Tuhan lain untuk lari kepadanya dari Tuhan yang ini.
Kemudian, ada beberapa cara agar seseorang bisa khusyuk, yaitu dengan membayangkan Allah Swt. Sampai di sini, berhati-hatilah. Kata Mulla Shadra, salah satu jenis kemusyrikan yang besar juga ialah membayangkan Allah itu dalam bayangan-bayangan yang ada pada kita. Padahal Allah itu tidak seperti yang kita bayangkan. Subhanallah wata’âlâ ‘ammá yashifûn, Mahasuci Allah Mahatinggi dari apa- apa yang mereka bayangkan, dari apa-apa yang mereka sifatkan. Kalau kita berdoa, selalu kita tutup dengan kalimat: Subhanallâh wata’âlâ ‘amma yashifûn wasalamun ‘alal mursalin wal hamdulillahi rabbil ‘alamin. Karena setiap kali kita membayangkan Allah, pastilah bayangan kita keliru. Sebab Allah adalah Zat yang tidak terbayangkan, yang mukhalafatu lil hawâdisi.
Jadi kalau kita menyembah Allah dengan membayangkan Dia. maka sebetulnya yang kita sembah bukan Allah, tetapi kita menyembah pembayangan kita. Itu berarti kita melakukan kemusyrikan lagi. Kita menyembah berhala, dan berhala kita adalah bayangan kita. Dulu itu orang membuat berhala, mereka membayangkan Tuhan bahwa Tuhan itu seperti itu. Hanya saja diwujudkan ke dalam wujud yang konkret. Kita menyimpannya di benak kita. Apalagi sekarang ini yang dibayangkannya juga bukan Tuhan dalam shalat itu, Ka’bah misalnya. Jadi Ka’bah-lah yang dia sembah.
Lalu bagaimana kita bisa melakukan shalat dengan khusyuk?
Di dalam Al-Quran surah Al-Baqarah disebutkan dua kali: Istaînû bis shabri was shalah, wa innahá lakabîratun illâ ‘alal khasi în, aladzina yadzunnûna annahum mulâqû rabbihim, wa annahum ilaihi raji’ûn. Sesungguhnya shalat itu berat, kecuali buat orang-orang yang khusyuk, yaitu orang yang yakin bahwa dia akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan bahwa kepada Dia-lah dia akan kembali. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).