
- Singa Anak Ka’bah
Abu Thalib adalah pemimpin Quraisy yang bijaksana. Orang banyak mencintai dan menghormatinya. la teguh pendirian pemberani; tetapi ia juga lemah lembut dan penyantun. Kadang-kadang ia menghunus pedangnya seperti ksatria tak terkalahkan. Pada waktu yang lain ia bersenandung membacakan syair-syair yang memikat. Keluhuran budinya kelak akan menurun kepada putra keempat yang sedang di kandung istrinya, Fatimah binti Asad.
Sebagaimana kebiasaan jahiliah, Fatimah ingin memberikan korban buat Hubal, berhala besar di atas Ka’bah, Tiba-tiba datang seorang pemuda yatim, yang sejak kecil hidup bersamanya. Namanya Muhammad. Fatimah sangat menyayanginya, sama seperti ia menyayangi anaknya sendiri.
“Ibu”, ujar Muhammad, “Bila aku kabarkan sesuatu kepada Ibu, maukah Ibu merahasiakannya?”
“Tentu,” jawab Fatimah.
“Pergilah dengan kurban ini, tetapi ucapkanlah — Aku kafir pada Hubal,dan beriman kepada Allah yang Mahaesa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”
“Akan Ibu amalkan, karena Ibu tahu engkau anak jujur, Muhammad.”
Maka berkurbanlah Fatimah Buat Allah Yang Mahaesa, dan tidak buat Hubal, berhala kemusyrikan. Ia berdoa buat keselamatan bayi dalam kandungannya.
Sampailah pada hari Jumat, tanggal 13 bulan Rajab, 10 tahun sebelum Muhammad diutus sebagai nabi. Fatimah dengan perut yang besar sekali tampak digandeng oleh Abu Thalib melakukan thawaf, mengelilingi Ka’bah.
“Bang, perutku sakit,” keluh Fatimah. “Engkau pasti terlalu lelah. Marilah beristrahat sebentar,” ujar suaminya.
“Aku saja yang beristirahat. Engkau teruskan sajalah thawafmu,” kata Fatimah. Sebagai istri yang sudah melahirkan tiga orang anak, Fatimah tahu sakit ini pertanda sebentar lagi ia akan melahirkan.
Abu Thalib membawa istrinya masuk Ka’bah. Di sana, di bawah naungan Baitullah, Fatimah merasakan perutnya bertambah mulas. Dengan menahan rasa sakit, ia mengangkat tangan berdoa, “Ya Allah. Aku bernaung kepada-Mu. Aku percaya pada datukku Ibrahim, pendiri Ka’bah. Demi pendiri rumah ini, demi jabang bayi dalam perutku, aku mohon kepada-Mu, mudahkan kelahirannya.”
Akhirnya ia melahirkan di dalam Ka’bah, disaksikan suaminya seorang. Baru pertama kali itulah seorang wanita melahirkan anak di dalam Ka’bah. Dibungkusnya bayi itu dengan selimut. Abu Thalib melarang membukanya sampai datang Muhammad.
Muhammad membuka selimut itu. Kelihatan bayi merah tersenyum. Muhammad mengangkatmya, menimangnya dengan penuh sukacita. la menjulurkan lidahnya. Dengan lahap bayi itu mengulum lidah Muhammad sampai pulas tertidur.
Abu Thalib menamai bayi itu Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad (Haidarah dan Asad dalam bahasa Arab artinya Singa). Pemuda Muhammad menamainya Ali (artinya, yang luhur). Nama Alilah yang terkenal, walaupun sepanjang hidupnya Ali terkenal juga sebagai singa yang menakutkan musuh-musuhnya. Namanya yang lain ialah Abu Turab, artinya “si Bapak Tanah”, karena kelak ia sering tidur di atas tanah masjid bergelimang debu. Ali juga digelari Murtadha, artinya yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
2. Anak Asuhan Wahyu
Ketika Ali berusia 6 tahun, Mekah dan sekitarnya dilanda musim kekeringan yang lama. Makanan serba kurang. Waktu itu Muhammad sudah menikah dengan Khadijah, wanita yang cukup kaya. Dengan seizin Khadijah, Muhammad membawa Ali ke rumahnya. Sebagaimana Abu Thalib memelihara Muhammad kecil, seperti itu jugalah Muhammad memelihara Ali. Sering Ali merapat di dadanya dan tidur di sampingnya. “Aku sering mendekap Rasulullah, dan masih dapat merasakan keharuman tubuhnya,” kata Ali bila mengenang masa kecilnya. Karena Muhammad tidak mempunyai anak lelaki, seakanakan Ali adalah satu-satunya putra keluarga Muhammad.
Pada suatu hari, ia pulang dan menemui kedua orang tua angkatnya sedang shalat bersama. Ali tertegun, “Apakah yang tengah engkau lakukan ini?”
Nabi Muhammad saw. menjawab, “Kami sedang menyembah Allah Yang Mahaesa. Inilah agama yang telah dipilih-Nya. Ia telah mengutus aku sebagai Rasul-Nya. Aku memanggil engkau agar beriman kepada-Nya, dan kafir kepada Lata dan ‘Uzza.”
“Demi Allah,” kata Ali, “Aku belum pernah mendengar seperti ini. Aku belum bisa memutuskan apakah masuk Islam atau tidak. Aku akan tanya dulu kepada ayahku.”
Malam itu Ali tidak tidur. Pagi-pagi sekali ia menemui Rasulullah saw. dan menyatakan keislamannya. Usianya baru 10 tahun. Ketika ditanya mengapa tidak memberitahukan dulu Abu Thalib, Ali menjawab, “Dahulu Allah menciptakan aku tanpa bermusyawarah dulu dengan orang tuaku. Mengapa aku harus bertanya kepada mereka untuk menyembah yang menciptakanku?”
Sejak usia remaja, Ali hidup beserta Rasulullah. Sering Nabi Muhammad mengimami shalat dan Ali berdiri di belakangnya. Waktu itu hanya empat orang yang sudah Islam: Khadijah, Ali, Abu Bakar, dan Zaid bin Haritsah. Di rumah Rasul, sering Ali mengikuti bacaan Alquran seayat demi seayat. Gurunya, pengasuhnya, dan pendidiknya adalah penerima wahyu sendiri, yaitu Nabi Muhammad. Pada awal kenabiannya, pada saat-saat Alquran turun, Ali senantiasa berada di samping Rasulullah. Ali besar dalam asuhan Wahyu.
Pada suatu hari, Nabi Muhammad saw memanggil Ali: “Hai, Ali, telah turun perintah Allah supaya aku berdakwah kepada kaum kerabatku, saudara-saudaraku yang dekat. Persiapkanlah makanan; masakkan paha kambing dan sediakan satu wadah besar susu. Undang keluarga Bani Abdil Muthalib. Aku akan mengajak mereka bicara dan akan kusampaikan perintah Allah kepada mereka.”
Ali pun dengan sigap melaksanakan suruhan Nabi. la mengundang kurang lebih 40 orang; antara lain Abu Thalib, Abu Lahab, Hamzah, dan Abbas. Setelah segalanya siap. Rasul Allah mempersilakan mereka makan. Tetapi sebelum dakwah dimulai, Abu Lahab memperolok-olokkan Nabi. Karena ucapan Abu Lahab, orang-orang pun pergi meninggalkan tempat jamuan.
Esoknya Ali mempersiapkan lagi jamuan. Kali ini Rasul Allah berhasil melakukan tabligh. “Hai, Bani Abdil Muthalib, aku membawa hal yang mulia. Untuk kalian, aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku untuk mengajak kalian. Siapakah di antara kalian yang mau membantuku dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku, dan penggantiku?”
Tamu-tamu yang hadir bungkam. Tiba- tiba terdengar teriakan keras. “Aku!” Yang berkata masih sangat muda, seorang remaja yang tidak diperhitungkan. “Ya, Rasul Allah, akulah pembantumu,” kata remaja itu.
Rasul Allah mengulang seruannya, dan remaja itupun mengulanginya lagi. Nabi yang mulia kemudian memegang tengkuk remaja itu, sambil berkata “Inilah pembantuku, penerima wasiatku, dan khalifahku atas kalian. Dengarkanlah ia, dan patuhilah dia.”
Semua yang hadir tertawa terbahak-bahak. Sambil melihat Abu Thalib, mereka berkata, “Hai, Abu Thalib, Muhammad menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!” Orang tertawa karena Rasul Allah menyuruh orang-orang tua mengikuti remaja Ali. Orang juga tertawa karena Ali dengan berani menyatakan dukangan kepada Nabi, di depan Abu Lahab yang selalu merintangi dakwah Nabi. Tetapi Ali adalah asuhan wahyu. Untuk Rasul yang mulia, nyawa pun rela ia berikan. Apalagi ayahnya, Abu Thalib, selalu menyuruhnya mendampingi Nabi. JR— wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).