PASRAH KARENA CINTA

Malam itu, di sebuah bilik pengap penjara Auschwitz terjadi kegemparan. Tiga orang napi melarikan diri. Penguasa penjara meledakkan kemarahannya dengan mengambil sepuluh napi untuk dihukum mati. Franciszek Grajowniczet, salah seorang napi yang diambil tersebut, menjerit, “Duhai istri dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe menggantikan Franciszek. Kolbe beserta sembilan orang lainnya disekap di bawah tanah. Dua minggu kemudian, mereka dikeluarkan dari tempat itu dan sudah menjadi mayat, kecuali Kolbe. Ia masih hidup. Akhirnya, ia pun dibunuh dengan suntikan asam karbolik ke tangannya.

Apa yang menyebabkan Kolbe memiliki daya tahan luar biasa? Apa yang mendorongnya untuk menggantikan kawannya? “Rahasia dari kekuatan ekstra untuk bertahan ini, saya kira, ada hubungannya dengan teologi tertentu atau makna tertentu yang diberikannya pada kehidupan. Menurut saya, kemungkinan besar yang menimbulkan keberanian ini adalah keterikatan orang beriman kepada Tuhan; sebutlah kecintaannya kepada Tuhan. Atau paling tidak, kecintaannya kepada keyakinannya,” tulis Celia Haddon dalam The Miraculous Power of Love.

“Kekuatan cinta memang menakjubkan. Untuk merangsang kecerdasan, kita memerlukan kasih ibu. Tanpa orang- orang baik di sekitar kita, dalam keluarga dan pergaulan, sebagian di antara kita mati. Tanpa cinta, manusia tidak bisa hidup bahagia. Cinta penting untuk ketenangan jiwa dan raga kita, seperti halnya vitamin, makanan bergizi, olahraga, dan lingkungan yang sehat. Di Barat, masyarakat berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk semua orang—drainase yang baik, air minum bersih, perawatan kesehatan, jaminan sosial masa tua, bantuan khusus bagi ibu-ibu, anak-anak sekolah, rumah jompo dan rumah sakit. Sebuah struktur negara yang perkasa digunakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia yang bersifat fisik. Tapi, kita tidak menemukan cinta di dalamnya,” masih kata Haddon.

Kita khawatir bahwa modernisasi telah membawa kita kepada situasi yang sama. Ekonomi kita ditegakkan di atas dasar keuntungan semata. Kita tidak lagi tersentuh dengan derita rakyat kecil yang tanahnya digusur. Kita pura-pura tidak tahu ketika ribuan orang kehilangan mata pencaharian karena ulah kita. Politik, kita bangun hanya untuk kekuasaan. Kita tusuk kawan seiring, kita kecoh lawan, kita singkirkan semua pesaing tanpa belas kasihan. Sistem sosial kita bertopang pada popularitas semata. Sebagai pengganti kasih sayang, kita dewakan kemasyhuran; seperti laron yang harus me ngejar-ngejar cahaya dan mati sebelum atau sesudah menyentuhnya.

Keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang, atau menjadi seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi Malaikat Zabaniyyah, yang berwajah masam, yang siap memasukkan siapa saja, selain kita, ke neraka. Atau kita termasuk orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan hiburan (QS Al-An’am [6]: 70). Upacara-upacara agama, kita selenggarakan seperti menggelar festival tanpa ruh dan kehangatan.

Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Karena tuntutan sosial, keuntungan ekonomis, atau melarikan diri dari frustrasi. Bila kita agak “maju”, kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran, atau pamrih. Tuhan menjadi sosok yang kita “suruh” untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksa, hukuman, dan kekuasaan-Nya. Di atas kita, para filsuf pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal. Namun, masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin pasrah kepada Dia karena cinta.

Suatu hari, Dzunun Al-Mishri, pengikut mazhab cinta, berkunjung kepada orang sakit. la mendapati si sakit sedang mengaduh. Dzunun berkata, “Tidak sejati seseorang mencinta apabila ia tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit menukas, “Tidak sabar dalam mencinta bila ia tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah, ada suara, “Tidaklah men cintai kami secara sejati orang yang masih mengharapkan kecintaan selain kami.” Al-Mutanabbi berpuisi: “Sekiranya aku bisa mengendalikan kejap mataku, aku tidak akan membukanya, kecuali ketika melihatmu.” Kita juga mendapatkan sentuhan cinta Ilahi dalam puisi L.K. Ara, penyair Aceh.

Doa Orang Buta

Tuhan beri sinar kepada mereka yang awas matanya

Tuhan beri cahaya kepada mereka yang memandang

dunia dengan mata terbuka

Tuhan, kepadaku, kirim saja percik kasih-Mu

Tidak untuk membuka mataku

Tapi untuk menyiram hatiku

Salahkah orang yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah orang yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya atau karena menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan, untuk menyirami hatinya. Inilah keberagamaan yang membuat Anda tulus dan perkasa. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *