KUNCI SURGA YANG TERBUANG

Umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah-ibadah ritual. Betapa banyak umat Islam yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusyuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Atau, betapa mudahnya jutaan-bahkan miliaran- uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi, ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit, dan bahkan di saat ribuan umat Islam terpaksa menjual iman dan keyakinannya kepada tangan-tangan kaum lain yang “penuh kasih”. Padahal, sebagaimana telah dilukiskan oleh Rasul mulia Saw:

“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan, dan kesetiakawanan sama seperti satu tubuh, yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit, maka seluruh anggota lainnya menunjukkan simpatinya dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam.”

Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah

Kesetiakawanan dan cinta kasih inilah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan sahabat-sahabatnya, seperti yang dikisahkan oleh seorang sahabat Nabi:

“Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi Saw. menjelang siang. Tiba-tiba datanglah rombongan orang yang berpakaian hampir telanjang dan compang-camping sambil bertelekan pada pedang- pedang mereka. Kebanyakan, bahkan seluruhnya, dari Bani Mudhar.

Tiba-tiba wajah Nabi berubah melihat penderitaan mereka. Beliau masuk (ke hujrah-nya), kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan. Setelah selesai mengerjakan shalat, Rasul yang mulia berkhutbah. Beliau membacakan beberapa ayat. Di antaranya: ‘Hai manusia, takutlah kamu kepada Tuhan Pemeliharamu, yang menciptakan kamu dari diri yang satu…’ sampai akhir ayat itu; ‘Dan hendaklah setiap orang mempersiapkan bekalnya untuk masa depannya… Beliau menganjurkan supaya setiap orang mengeluarkan sedekahnya-sandang atau pangan. Berbondong-bondonglah para sahabat menyumbangkan apa yang mereka punyai, bahkan ada seorang Anshar memikul satu kantong yang begitu berat, sehingga tangannya hampir tidak dapat membawanya. Aku lihat dua tumpuk makanan dan pakaian, dan aku melihat wajah Rasulullah Saw. bersinar-sinar karena kegembiraan. Setelah itu, Rasulullah Saw.. bersabda, Barang siapa memulai kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya ganjaran dan ganjaran orang yang mengikuti kebiasaan baik itu sesudahnya. Barang siapa memulai kebiasaan yang jelek dalam Islam, maka baginya dosa (karena memulai kebiasaan jelek itu) dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan jelek itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sendiri sedikit pun.”

Dalam peristiwa ini, kebiasaan yang baik, sunnah hasanah, itu adalah menggerakkan umat Islam untuk bersama-sama membantu meringankan penderitaan sesama Muslimin; dan kebiasaan yang jelek, sunnah sayyiah, ialah membiasakan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain. Dengan demikian, sunnah hasanah ialah memandang kemiskinan sebagai masalah sosial yang pemecahannya harus dilakukan lewat aksi sosial; dan sunnah sayyiah ialah memperlakukan kemiskinan sebagai masalah individu-individu yang bersangkutan.

Anda menghidupkan sunnah sayyiah bila Anda berpikir bahwa orang itu miskin karena bodoh, tidak mau bekerja keras, kurang hasrat berprestasi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, fatalistis, pasrah pada nasib, atau barangkali juga karena dosa-dosa yang pernah mereka buat. Pada suatu pertemuan para cendekiawan Muslim internasional, utusan dari setiap negara menyampaikan kemiskinan dan kesengsaraan saudara-saudaranya, terkadang dengan deraian air mata yang tidak dapat ditahan. Mengharukan. Tetapi, sebelum pertemuan selesai, para cendekiawan menyimpulkan bahwa kemiskinan dan kesengsaraan ini bersumber dari kebodohan kaum Muslim. Lalu, dengan semangat, peserta membeberkan cacat kaum Muslim dewasa ini. Kembali, sang korban yang disalahkan! Kemiskinan menjadi masalah individual. Menurut Al-Quran, ini kecenderungan orang-orang yang menumpuk kekayaan:

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.”

Al-Quran menyindir orang-orang yang ketika diberi kekayaan, merasa dimuliakan oleh Allah (dengan sifat-sifat yang baik), dan ketika diberi kemiskinan, mereka mengira Allah menghinakannya. “Sekali-kali tidak demikian.” Kemudian Allah menyebutkan penyebab kemiskinan adalah kecenderungan untuk tidak memuliakan anak yatim, tidak adanya usaha bersama untuk membela orang miskin, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber daya (at-turâts) secara rakus, dan kecintaan yang berlebih-lebihan pada harta-benda. Islam memandang kemiskinan sebagai akibat dari sistem sosial yang timpang, dari kekurangan solidaritas sosial, dari sunnah sayyiah di masyarakat.

Hak-Hak Orang Miskin

Jadi, kalau terjadi kemiskinan yang meluas di masyarakat, siapakah yang paling bersalah? Nabi Muhammad Saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang-orang kaya Muslimin untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang- orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin, bila mereka lapar atau telanjang, kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga, Ingatlah bahwa Allah Swt. akan mengadili mereka dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” Sayyid Sabiq menyertakan hadis ini setelah memberikan tafsir atas ayat Al- Quran: “Dan orang-orang yang pada hartanya ada hak yang tersurat, bagi yang meminta pertolongan dan yang melarat.” Kata Sayyid Sabiq,” Inilah hak orang-orang yang memerlukan pada harta orang-orang kaya; yang ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka berupa sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang amat diperlukan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia.”

Boleh jadi Anda berpendapat: Bukankah kewajiban kita selesai bila kita sudah mengeluarkan zakat? Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.” Lalu beliau membaca ayat: “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, al- kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta pertolongan, dan mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan; mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat; memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang takwa.”  Hak inilah yang harus Anda berikan ketika ada orang meminta tolong kepada Anda buat biaya rumah sakitnya, padahal pada diri Anda ada kelebihan uang. Hak ini juga yang harus Anda sampaikan kepada siswa yang tidak akan dapat melanjutkan sekolahnya bila Anda tidak memberikan hak itu kepadanya. Hak inilah yang harus dituntut oleh orang-orang miskin dari orang-orang kaya bila mereka mengalami kesulitan hidup.

Kesulitan hidup terjadi bila kebutuhan pokok-basic needs-tidak terpenuhi. Bila ada sejumlah orang kelaparan dan ada segelintir orang hidup mewah, maka yang lapar boleh menuntut haknya dengan paksa. Ketika menafsirkan ayat: “Jika salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.”

Ibnu Hazm menyatakan bahwa orang lapar boleh menggunakan paksaan untuk meminta haknya dari orang kaya dan menyerangnya jika orang kaya itu menahan haknya. “Bila penyerang itu terbunuh, pembunuhnya harus membayar denda, dan jika ia berhasil membunuh orang yang diserang, yang terserang itu terkutuk dan mendapat laknat Allah karena ia tidak memenuhi hak orang lapar dan ia termasuk orang yang berbuat aniaya seperti dimaksud dalam ayat ini”

Ibnu Hazm mungkin agak “ekstrem”. Tetapi ia berpijak pada satu asumsi bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” Bahwa kemiskinan dan keterbelakangan adalah tanggung jawab kita bersama ditegaskan berulang-ulang, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, sebagian di antaranya:

1. Menolong dan membela yang lemah, mustadh’afin, adalah tanda-tanda orang yang takwa.”

2. Mengabaikan nasib mustadh’afin, acuh tak acuh terhadap mereka, dan enggan memberikan pertolongan akan menyebabkan ia menjadi pendusta agama dan shalatnya akan membawa kecelakaan;” menjerumuskan ke neraka saqar,” imannya tidak ada (“Tidak beriman kepadaku yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya”),  dan ia tidak dihitung sebagai orang Islam (“Barang siapa tidak mau memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk kelompok mereka”).

3. Membela nasib mustadh’afin merupakan amal utama yang mendapat pahala lebih besar daripada ibadah-ibadah sunnah.

“Barang siapa di waktu pagi berniat untuk membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang Muslim, baginya ganjaran seperti ganjaran haji yang mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat buat manusia. Seutama-utamanya amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman- melepaskan lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang,”

“Orang yang bekerja keras untuk membantu janda dan orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Allah atau (aku kira ia berkata) seperti yang terus-menerus shalat malam atau terus-menerus puasa.”

“Barang siapa berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya pada satu saat di siang hari atau malam hari, ia berhasil memenuhinya atau tidak berhasil, itu lebih baik baginya daripada iktikaf dua bulan.”

“Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesusahan atau menolong orang yang teraniaya. Allah berikan kepadanya 73 ampunan.”

Tanpa harus menyebutkan nas-nas di atas pun, orang-orang yang mempelajari Islam, membuka Al-Quran dan Sunnah, akan segera menemukan perhatian yang besar dari ajaran Islam terhadap problem kemiskinan dan keterbelakangan. Tidak perlu dirumuskan teologi pembebasan. Yang diperlukan umat Islam kini ialah data yang konkret bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang mengancam eksistensi umat Islam.

Membela fakir miskin adalah melanjutkan tugas Rasul dalam “membuang beban-beban (penderitaan) dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” Bukankah Rasulullah Saw. berkata, “Kamu ditolong dan diberi rezeki karena bantuan orang-orang lemah di antara kamu.” Kepada istrinya, beliau berpesan, “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab dengan engkau pada hari kiamat.” Dan kepada kita semua, beliau berwasiat, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.” JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *