Kezaliman

Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kamu, siapa yang dimaksud dengan orang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang bangkrut ialah orang yang tidak punya uang atau kekayaan.” Nabi saw. berkata, “Orang bangkrut di antara umatku ialah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa salat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang sambil membawa daftar kezalimannya. Ia mengecam orang ini. Ia menuduh si ini. Ia memakan harta si ini. Ia menumpahkan darah si ini. Ia memukul si ini. Kemudian, ia harus membayar mereka yang dizaliminya dengan kebaikannya. Ia bagi-bagikan kebaikannya itu sampai habis. Bila kebaikannya sudah habis, padahal ia belum membayar lunas mereka, diambilkanlah kesalahan orang lain. Kesalahan itu diletakkan pada timbangan amalnya. Kemudian, ia dilemparkan ke neraka.” (Shahih Muslim, 2:524).

Orang itu bangkrut karena ia berbuat zalim, seperti—Nabi memberikan contoh-contohnya—mengecam, menuduh, merampas harta, dan menumpahkan darah. Ia datang pada hari akhirat dengan membawa salat, puasa, dan haji. Ia adalah orang yang salih, Muslim yang setia menjalankan ibadah-ibadah ritual. Namun, ketika ia diadili Tuhan, pada tangannya bergelantungan orang yang pernah dizaliminya. Mereka menuntut apa yang tidak dapat mereka tuntut dahulu di dunia. Di situ, ada petani kecil yang selalu dikalahkan dalam pengadilan, rakyat kecil yang ditahan tanpa kesalahan, atau haji kecil yang tak pernah bisa mendapat bunga ONH-nya.

Pelaku kezaliman itu pastilah orang serba besar. Dengan kekayaannya, ia bisa seenaknya menggusur siapa saja, membunuh siapa saja, atau menyiksa siapa saja. Ia selalu lolos dari hukum, apalagi ia terkenal salih. Ia berulangkali naik haji dan umrah. Ia taat berpuasa. Ia rajin salat malam.

Salat dan puasa orang ini memang tidak sia-sia. Pada hari ketika alat tukar hanya amal salih, paling tidak, ia mempunyai modal untuk membayar utang dunianya. Yang menyedihkan ialah bila kezaliman yang dilakukannya tidak lagi bisa ditebus dengan amal ibadahnya. Bahkan, seluruh ibadah itu—mungkin yang paling ikhlas dari semuanya—tidak cukup untuk membayar tuntutan terhadapnya. Ia harus menerima kenyataan pahit. Ia bahkan harus menanggung dosa orang yang dizaliminya.

Masih untung, ada di antara salatnya yang diterima. Padahal, Tuhan tidak senang orang zalim datang ke rumah-Nya. Kepada Nabi saw., Tuhan berkata: Wahai saudara para utusan, wahai saudara pemberi peringatan, peringatkan kaummu agar tidak masuk ke rumah Kami, kecuali dengan hati yang selamat, lidah yang jujur, tangan yang bersih, dan kehormatan yang suci. Tidaklah seseorang memasuki rumah-Ku, sedangkan ia menzalimi salah seorang hamba-Ku, kecuali Aku akan terus melaknatnya selama ia berdiri di hadapan-Ku saat melakukan salat. Aku berhenti melaknatnya setelah ia menghentikan kezaliman yang dilakukannya pada orang lain.

Mungkinkah ada orang zalim yang taat beribadah? Atau, mungkinkah orang taat beribadah berbuat zalim? Tidakkah getaran tasbih akan menahan tangannya untuk menganiaya orang lain? Bukankah linangan air matanya ketika salat malam akan melembutkan hatinya dalam melihat derita orang lain? Kenyataan akan segera menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu retoris belaka. Banyak ‘âbid zhâlim dan banyak zhâlim ‘âbid.

Pertanyaannya bukan lagi soal mungkin atau tidak. Tetapi, mengapa semua ini terjadi? Ada ilmuwan yang menjelaskan dengan singkat: kezaliman memang sudah watak manusia (innate). Manusia sudah “diprogram” untuk merampas, menyiksa, membunuh, menaklukkan—semua untuk kepentingannya sendiri. Program itu sudah direkam dalam gen-gen kita. Tidak ada yang bisa mengubahnya—tidak agama, tidak budaya, tidak juga pendidikan. Tontonlah film dokumenter The Mind. Sepanjang cerita, Anda melihat orang yang berbuat zalim karena hipoglycemia, ketidakseimbangan progesteron, kerusakan otak, keturunan, dan lain-lain. Pembaca narasi berkata, “Semua pikiran kita berasal dari kegiatan elektris pada sel syaraf, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh pesan dalam gen kita, kimia dalam darah kita, dan informasi dari dunia luar—dan kita sedikit sekali mampu mengendalikan faktor-faktor ini.”

Grand Theory, yang menyatakan bahwa kezaliman adalah tabiat manusia yang diwarisi dari nenek moyang kita, bertahan beberapa dasawarsa, bukan karena ditunjang bukti ilmiah, tetapi karena teori itu mendukung status quo. Karena justifikasi ilmiah ini, kita tidak perlu merisaukan perbuatan zalim. Kezaliman adalah ‘fitrah.’ Lewat teori ini, tidaklah aneh-juga tidak salah kalau ada orang salih dapat berbuat zalim.

Namun, pada 1986 di Seville, para ilmuwan menandatangani deklarasi yang menolak teori besar ini. Orang berbuat zalim bukan karena program genetis. Ia melakukannya karena “jiwanya sakit.” Dengan meneliti para penjahat kejam, para ilmuwan menemukan bahwa penyebab utama perbuatan zalim bukan pada gen atau otak, tetapi pada hilangnya kemampuan untuk berempati (kemampuan untuk “merasakan ke dalam” [einfuhlung] perasaan orang lain. Anda mencoba melihat dunia bukan dari kaca mata Anda saja, tetapi juga dari kaca mata orang lain, sehingga Anda mampu memahami dan menggunakan perspektif orang lain).

Ketika Anda berbuat zalim, Anda tidak dapat merasakan kepedihan mereka yang—dalam keadaan tak berdaya—menyerahkan hasil kerja keras mereka. Anda tidak menduga bahwa orang yang Anda zalimi merintih karena kehilangan hak-hak yang dicintainya. Anda hanya merasakan kebahagiaan memperoleh apa yang Anda sebut “keuntungan.” Pada hari akhirat, keuntungan itu ternyata adalah kerugian besar. Di sana, Anda akan merasakan kepedihan dengan menyerahkan hasil kerja keras Anda di dunia kepada mereka. Ketika itu, Anda mulai mengerti empati. Tetapi, sayang, sudah terlambat! JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *