
“Para orangtua, guru, ruhaniwan, dan pengusaha secara tak sadar telah bersekongkol untuk menghasilkan bangsa yang berjiwa kerdil. Pada masa dini banyak ayah dan ibu menyensor anak yang berani menyatakan hak-haknya, sehingga menghalangi anak untuk mengungkapkan dirinya. Para guru menghargai murid yang tidak mempersoalkan sistem pendidikan dan memperlakukan dengan keras murid yang menentangnya. Sering lembaga-lembaga agama mengajarkan kerendahan hati dan pengorbanan, bukan keberanian membela diri. Banyak pegawai sejak awal kariernya belajar bahwa jika ia berani bicara, ia tidak mungkin naik pangkat dan boleh jadi kehilangan pekerjaannya. Setelah diterima di tempat kerja, sikap ini kemudian dibawa ke rumah dan kehidupan sosial. Sementara itu, orang juga belajar bahwa untuk maju boleh saja, bahkan perlu, menginjak orang lain. Seperti kata Leo Durocher, ‘Orang baik duluan habis.’ Jika Anda mewarisi peninggalan budaya yang membingungkan ini secara serius, hampir setiap aksi dan interaksinya penuh ketakpastian.”
Mungkin orang mengira kutipan tadi dimaksudkan untuk bangsa Indonesia dan ditulis seorang kritikus sosial. Kutipan tersebut sebenarnya bercerita tentang sebagian bangsa Amerika yang sudah kehilangan keberanian menyatakan diri. Mereka disebut timid souls (jiwa-jiwa yang kerdil). Dalam pergaulan sosial, mereka sering menjadi korban. Mereka tidak dapat menampilkan dirinya seperti yang mereka kehendiki. Mereka diarahkan dan diatur oleh orang lain. Dengan meminjam istilah Sartree, prilaku mereka menjadi tidak autentik. Mereka mungkin melakukan pekerjaan yang tidak mereka senangi. Mereka memiliki tugas apa pun yang dibebankan orang lain kepada mereka. Mereka belajar berprilaku sekadar untuk menyelamatkan diri. Hidup bukan saja tidak dinikmati, tetapi juga tidak dijiwai. Mereka adalah bangkai-bangkai eksistensial.
Dr. Herbert Fensterheim, profesor psikiatri di Cornell University Medical College, menawarkan cara menyembuhkan timid souls. la menulis buku—yang salah satu paragrafnya kita kutip tadi-dengan judul Don’t Say “Yes” When You Want to Say “No” Judul itu menyimpulkan terapi behavioral yang diajarkannya. Bila Anda tidak ingin menjadi korban, belajarlah mengatakan “Tidak” Jangan mengatakan “Ya” bila Anda ingin mengatakan “Tidak.” Sudah lama Anda dididik oleh budaya Anda untuk menutupi diri Anda. Ke mana-mana Anda membawa Anda yang palsu. Anda sakit hati. Anda menderita depresi, Anda kehilangan makna, Anda kosong.
Anda telah menjadi korban proses belajar (learning) sepanjang hidup Anda. Agar Anda mendapatkan kembali kepribadian Anda, lakukanlah proses mementahkan apa yang sudah Anda pelajari itu (delearning). Yaitu, dengan menolak setiap upaya orang lain untuk memaksakan kehendaknya kepada Anda. Anda hanya boleh bertindak seperti yang Anda ingini. Memang, ada latihan-latihan intensif untuk itu. Fensterheim menyebutnya assertiveness training. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).