
Dalam Muhammad the Educator, Robert L. Gulick, Jr. menulis: “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar …. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tidak tertandingi dan gairah yang menantang …. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena ̶ dari sudut pragmatis ̶ seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik.”
Kutipan di atas diambil dari sebuah ensiklopedia yang melukiskan Muhammad Saw. sebagai nabi, pemimpin militer, negarawan, yang bermacam-macam dan pendidik umat manusia. Peran Nabi itu sebenarnya bersumber dari satu peran yang sama: yakni da’i (juru dakwah). Semua peran itu dilakukan untuk melaksanakan dakwahnya.
Katakan (olehmu, Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku berdakwah menuju Allah, berdasarkan keterangan (hujjah); aku dan orang yang mengikuti aku. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (QS 12: 108).
Ketika memberikan komentar tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa Allah Taala berfirman kepada Rasul-Nya Saw. agar menyampaikan kepada manusia bahwa inilah jalan hidupnya, yaitu cara hidupnya dan Sunnahnya ̶ dakwah (mengajak) kepada kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengajak menuju Allah dengan kesaksian itu adalah atas dasar keterangan, keyakinan, dan bukti. Ia dan semua pengikutnya menyeru juga kepada apa yang didakwahkan Rasulullah Saw. berdasarkan keterangan, keyakinan, dan pembuktian ‘aqli dan syar’i.
Sebagaimana Nabi Muhammad, pengikut-pengikutnya harus memandang pendidikan sebagai bagian dari dakwah yang merupakan jalan hidup mereka. Bila pendidikan diartikan secara luas sebagai upaya mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai dengan kerangka nilai tertentu, maka pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Jadi, setiap Muslim selayaknya adalah da’i dan sekaligus pendidik. Ia menjadi saksi di tengah-tengah umat manusia tentang kebenaran Islam (QS 22: 78; 2: 143), dan mendidik manusia yang lain dengan seluruh kepribadian dan perilakunya. Dengan meminjam konsep Johann Friedrich Herbart (1776-1841), filsuf dan ahli pendidikan dari Jerman, seorang Muslim adalah erzieher (pendidik) dan miterzieher (co-edukator). Karena itu, Nabi Muhammad Saw. pada satu kesempatan berkata, “Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” Pada kesempatan-kesempatan lain, ia berkata, “Sesungguhnya, Allah mengutusku sebagai mubalig.” Dan “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.” Dalam pengertian ini, pendidikan berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Di sini, saya akan membatasi pendidikan dalam pengertian sebagai upaya mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang secara progresif melalui lembaga-lembaga formal. Dengan sekali lagi meminjam konsep Herbart, maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah Erziehung dan bukan Miterziehung. Karena judul bab ini “Konsep Dakwah Islam dalam Pendidikan”, di sini hanya berisi uraian yang bersifat konseptual. Saya akan mengemukakan prinsip-prinsip yang melandasi dakwah Islam dalam pendidikan, dan bentuk-bentuk usaha dakwah yang dapat dilakukan dalam bidang pendidikan. Bila ada ulasan yang tampaknya operasional, hendaknya itu dilihat sebagai contoh-contoh ilustratif saja.
Dakwah Islam dalam Pendidikan
Dr. Muhammad Javad As-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Al-Qur’an Al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuannya.” Definisi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam dalam pendidikan didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Marilah kita perinci prinsip-prinsip ini:
- Dakwah Islam yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat kesempurnaan. Gambaran tentang manusia sempurna ialah manusia yang sudah mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58: 11). Tingkat ini ditunjukkan dengan kemampuan melahirkan amal terbaik. Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu semua siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya (QS 67: 2). Sebagaimana kata “iman” sering kali dikaitkan dengan “amal saleh” (lebih dari 70 kali dalam Al-Quran), “ilmu” juga selalu diberi sifat “yang bermanfaat” (dalam hadis-hadis Nabi Saw.). Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan iman, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa dalam Islam, yang menjadi perhatian bukan kuantitas, melainkan kualitas. Al-Quran tidak pernah menyebut aktsaru ‘amalâ atau ‘amalan katsîrâ, tetapi menegaskan ahsan amalan atau ‘amalan shâlihâ.
- Sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Islam menjadikan Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah (QS 33: 21). Ia dijamin Allah memiliki akhlak mulia (QS 68: 4). Ia diutus melalui perintah membaca dengan nama Allah yang menjadikan, membaca dengan mengagungkan Allah Yang Mahamulia, yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu yang tidak diketahuinya melalui pena (QS 96: 1-5). Muhammad-lah yang berkata bahwa “Manusia terbaik ialah mukmin yang berilmu. Jika diperlukan, ia bermanfaat bagi orang lain. Jika tidak diperlukan, ia dapat mengurus dirinya.” Ia wajibkan umatnya menuntut ilmu, seraya berkata, “Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang adalah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” Ia memuji orang berilmu sebagai orang yang paling dekat kedudukannya dengan derajat kenabian, yang tintanya di- timbang sama dengan darah syuhada. Ia memuji proses ilmu, dan mengatakan bahwa Allah memberikan ganjaran kepada semua yang terlibat di dalamnya: yang bertanya, yang ditanya, yang mendengarkan, dan yang mencintai kegiatan itu.” Pada saat yang sama, ia juga bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya; “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain;” “Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Atas dasar ini, maka dakwah dalam pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad Saw. sebagai teladan, menanamkan kecintaan dan perasaan takzim terhadapnya.
- Al-Quran menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (QS 91: 7-8). Di banyak ayat Al-Quran disebutkan potensi-potensi negatif dalam diri manusia, seperti lemah (QS 4: 28), tergesa-gesa (QS 21: 37), selalu berkeluh kesah (QS 70: 19), dan sebagai- nya. Di samping itu, disebutkan juga bahwa manusia dicip- takan dengan bentuk yang paling baik, dan bahwa ruh Tuhan ditiupkan kepadanya pada saat penyempurnaan pencipta- annya (QS 15: 29; 38: 72). Karena itu, dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada dalam diri orang terdidik dan mengurangi potensinya yang jelek.
Bentuk-Bentuk Dakwah Islam dalam Pendidikan
Bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi Saw. sebagai da’i:
Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang nama- nya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’rûf, melarang yang mungkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan mele- paskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka barang siapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang ber- bahagia. (QS 7: 157)
Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang- orang yang beriman, ketika Dia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat- Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 3: 164; 2: 129; 62:2)
Dari ayat pertama, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma’ruf nahi munkar, menjelaskan yang halal dan yang haram (syariat Islam), meringankan beban penderitaan dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri sendiri), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). Seperti akan saya jelaskan nanti, amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan ke dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan yang haram termasuk ta’lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilâwah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlâh (yang saya pakai untuk meringkaskan pengertian tentang “melepaskan beban dan belenggu-belenggu”). Keseluruhan konsep ini digambarkan pada tabel berikut:
Tulisan ini merupakan pengantar untuk pembahasan yang lebih serius. Saya berharap, kalaupun tidak melahirkan gagasan-gagasan kreatif, tulisan ini mengingatkan kita semua bahwa dakwah dalam pendidikan tidaklah sesederhana yang kita duga. Pendidikan (dalam pengertian formal) disepakati sebagai bidang strategis dakwah. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah yang secara naqli dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ‘aqli dapat dilaksanakan. Dakwah adalah tugas nabi dan pengikut para nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah usaha besar yang membentuk peradaban manusia. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).