
Dr. Maurice Bucaille, dokter bedah Prancis, tiba-tiba terkenal sebagai mufasir Al-Quran. Bukunya La Bible, la Coran, et la Science diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat, Persia, Gujarati, dan Indonesia. Banyak orang Islam merasa terhibur dengan buku Bucaille, dan menerima penafsiran ilmiah yang dikemukakannya. Al-Quran bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Ayat-ayat Al-Quran seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern. Popularitas Bucaille memudarkan mufasir ilmi seperti Fakhrurrazi, al-Baidhawi, an-Nisaburi, atau Tanthawi Jauhari.
Bucaille bukan sekadar memberikan penafsiran baru, ia juga mengkritik penerjemah-penerjemah Al-Quran, yang berbuat kesalahan dalam mengartikan ayat Al-Quran. “Mereka umumnya orang-orang sastra,” kata Bucaille. “Seringkali mereka menerjemahkan secara salah ayat-ayat, karena tidak memiliki pengetahuan ilmiah yang diperlukan untuk memahami arti yang sebenarnya. Sebabnya ialah, untuk mampu menerjemahkan secara benar, orang pertama-tama harus memahami apa yang dibacanya. Sebab lain ialah bahwa para penerjemah ꟷterutama yang saya sebut di atas ꟷ mungkin dipengaruhi oleh komentar mufasir klasik yang menjelaskan ayat tersebut. Karena tradisi, para mufasir tersebut sering di anggap sangat berwenang, walaupun mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiahꟷjuga rekan-rekan mereka sezaman. Mereka tidak mampu membayangkan bahwa ayat-ayat tersebut mungkin menunjukkan pengetahuan duniawi, sehingga mereka mencurahkan perhatian kepada ayat tertentu, dan membandingkannya dengan ayat lain yang berkenaan dengan hal yang samaꟷsuatu proses yang memberikan kunci untuk memahami makna kata atau ungkapan. Dari sinilah timbul kenyataan bahwa ayat Al-Quran, yang dapat dihubungkan dengan pengetahuan modern, kemungkinan besar diterjemahkan secara keliru. Sangat sering, terjemahan itu dipenuhi dengan pernyataan yang tidak tepatꟷkalau tidak dapat dikatakan sangat sembrono. Satu-satunya cara untuk menghindari kekeliruan seperti itu ialah memiliki latar belakang ilmiah dan mempelajari Al-Quran dalam bahasa aslinya.”
Tetapi, betulkah penafsiran yang tidak ilmiah itu keliru? Mestikah kita meninggalkan para mufasir klasik seperti Ibnu Abbas, Ibnu Katsir, at-Thabari, Jalaluddin as-Suyuthi, atau asy-Syaukani, karena mereka tidak memiliki latar belakang ilmiah? Tidak semua orang setuju dengan Bucaille. Banyak juga ulama ꟷ bahkan ilmuwan, seperti Ziauddin Sardar ꟷmengecam upaya mengilmiahkan ayat-ayat Al-Quran. Sebagian menuduh bahwa orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang diancam hadis Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa menafsirkan Al-Quran dengan rayunya, hendaknya mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Sering terjadi, mufasir-mufasir ilmi ini mengetahui suatu teori ilmiah, dan kemudian mencari ayat Al-Quran yang menunjang teori itu. Akibatnya, yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan Al-Quran, tetapi Al-Quranlah justru yang menafsirkan ilmu pengetahuan, Yang lebih berbahaya lagi ialah mengartikan ayat Al-Quran dengan teori-teori ilmiah yang masih spekulatif. Ketika teori-teori ilmiah itu tumbang, tumbang jugalah ayat Al-Quran yang terkait dengannya. Kebenaran Al-Quran adalah mutlak, sedangkan kebenaran ilmiah adalah nisbi. Tidakkah penafsiran ilmiah justru menisbikan kebenaran Al-Quran?
Masalah penafsiran ilmiah atas ayat-ayat Al-Quran merupakan salah satu kemusykilan yang harus diselesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara Al-Quran’ dan ilmu pengetahuan. Karena itu, di sini pertama-tama akan dibahas tafsir ilmi, alasan-alasan yang menopangnya, dan kritik-kritik terhadapnya. Dengan latar belakang tafsir ilmi, kita akan melihat bagaimana perspektif Al-Quran atas ilmu pengetahuan: penghargaan Al-Quran terhadap ilmu, sumber-sumber ilmu pengetahuan, arah perkembangan ilmu pengetahuan, dan cara memperoleh pengetahuan.
Tafsir Ilmi: Argumen dan Kontraargumen
Pembahasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dengan Al-Quran sebetulnya bukanlah hal yang baru. Bucaille bukan mufasir ilmi yang pertama. Sebelumnya ada Thanthawi Jauhari; sebelumnya lagi ada Al-Baidhawi yang bersandar pada tafsir al-Kabir-nya Fakhrurrazi. Fakhrurrazi telah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan di zamannya. Sedemikian, sehingga ada ulama yang memberikan komentar, “Fakhrurrazi sudah mengatakan segala sesuatu dalam tafsirnya, kecuali tafsir.”
Menurut Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, prinsip-prinsip tafsir ilmi sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhrurrazi. Dalam Ihya Ulumiddin, al-Ghazali membela tafsir ilmi dari serangan ulama pengikut Ibnu Abbas dan mufasir lainnya. Ia mengemukakan akhbar dan atsar yang menunjukkan bahwa Al-Quran mempunyai makna yang lebih luas. daripada yang terdapat pada keterangan yang manqul. Bila Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian, renungkanlah Al-Quran.” Kata al-Ghazali, bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir zahirnya saja. Al-Ghazali menulis:”
Seluruh ilmu tercakup dalam af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Di dalam Al-Quran terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya, dan di dalam Al-Quran terdapat petunjuk kepada keseluruhannya, Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap Al-Quran. Semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan, tentang semua yang menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan pemikiran, di dalam Al-Quran terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya dipahami oleh orang yang mengerti. Jadi, bagaimana mungkin kita mencukupkan dengan terjemahan lahir dan tafsirnya saja. Karena itulah Nabi s.a.w. berkata: “Bacalah Al- Quran, dan gali keajaibannya.” Berkata Nabi s.a.w, dalam hadis Ali r.a.: “Demi yang mengutus aku sebagai Nabi dengan kebenaran, akan pecah umatku pada pokok agamanya, dan jamaahnya menjadi 72 golongan. Semuanya sesat menyesatkan, memanggil ke neraka.” Apabila terjadi hal demikian, hendaknya kamu berpegang kepada Kitab Allah. Di dalamnya ada kabar tentang umat sebelum kamu, dan berita yang datang sesudah kamu, serta hukum di antara kamu. Bila ada penguasa yang menentangnya, Allah akan mematahkannya. Barangsiapa mencari ilmu selain Al-Quran, Allah akan menyesatkannya. Al-Quran adalah tali kokoh Allah, cahaya yang terang, obat yang bermanfaat, terpeliharalah orang yang berpegang kepadanya, dan selamatlah orang yang mengikutinya. Tidak bengkok kecuali diluruskan, tidak miring kecuali ditegakkan. Tidak akan habis keajaibannya, dan tidak berkurang karena sering dibacanya. Dalam hadis Huzaifah, ketika Rasulullah mengabarkan perpecahan dan pertentangan sesudahnya, Huzaifah bertanya: “Ya Rasulullah apa yang kau perintahkan kepadaku, jika kami mengalami hal itu.” Ia berkata: “Pelajarilah kitab Allah, dan amalkanlah apa yang ada di dalamnya. Di situ ada jalan keluarnya.” Kata Huzaifah: “Aku ulangi pertanyaan itu tiga kali, dan Rasul s.a.w. menjawabnya tiga kali: ‘Pelajarilah kitabullah, dan amalkan apa yang ada di dalamnya, karena di situ ada keselamatan.” ” Berkata Ali r.a.: “Barangsiapa me mahami Al-Quran, ia menafsirkan sejumlah ilmu.” Dengan itu Ali menunjukkan bahwa Al-Quran menunjukkan pokok-pokok seluruh ilmu. Ibnu Abbas r.a. berkata tentang arti firman Allah Ta’ala, “siapa yang diberi hikmah, dia telah diberi kebaikan yang banyak”, sebagai pemahaman tentang Al-Quran. Allah berfirman: “Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman, dan keduanya Kami beri hukum dan ilmu.” Allah menamai apa yang diberikan kepada keduanya ilmu dan hukum, tetapi mengkhususkan kepada Sulaiman pemahaman, dan menjadikannya sebagai pendahulu hukum dan ilmu. Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna Al-Quran terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi Al-Quran pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan.
Dalam kutipan di atas, secara aqli dan naqli al-Ghazali menun jukkan bahwa Al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al dan sifat Allah, yang hanya dapat ditemukan oleh orang yang memahaminya. Dalam kitab yang lain, Jawahir al-Quran, al-Ghazali memberi kan beberapa contoh ayat Al-Quran yang tidak dapat dipahami secara manqul, tetapi hanya dapat dimengerti oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Ayat “Dan bila aku sakit, Allah menyembuhkan aku” (QS. 26:80) hanya dapat dipahami oleh ilmuwan kedokteran, Ayat-ayat yang menggambarkan peredaran matahari, bulan dan gemintang, hanya dimengerti oleh ahli fisika dan astronomi. Untuk memahami ayat-ayat tentang kejadian manusia, diperlukan ilmu tentang manusia (baik fisiologi maupun psikologi). Menafakuri ayat-ayat Al-Quran, kata al-Ghazali, akan membawa kita kepada samudra af’al yang tidak bertepi. Dan hal itu. tidak cukup hanya dengan membatasi penafsiran pada apa yang manqul.
Selanjutnya al-Ghazali mengupas pengertian “menafsirkan Al-Quran dengan ra’yu“. Yang dimaksud bukanlah membatasi tafsir atas Al-Quran pada apa yang manqul dan masmu’ karena beberapa alasan. Pertama, kalau yang manqul memang dari Rasulullah, kita harus menerimanya. Tetapi kalau hanya sekadar dari Ibnu Abbas, misalnya, kita boleh saja menolaknya, karena tafsir Ibnu Abbas juga sebenarnya tafsir birra’yi. Kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran. Semua perbedaan itu tidak mungkin berasal dari Nabi saw. Ketiga, Rasulullah sendiri berdoa agar Ibnu Abbas difakihkan dalam agama dan diajari takwil. Kalau takwil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan doa itu. Keempat, Allah sendiri berfirman, “tentulah mengetahuinya orang-orang yang menarik istinbath dari mereka” (QS 4:83). Ini menunjukkan bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath tidak mungkin masmu: “Maka bolehlah orang melakukan penyimpulan Al-Quran, sesuai dengan kadar pemahamannya dan batas akalnya”, kata al-Ghazali. Kalau begitu, apa yang dimaksudkan menafsirkan Al-Quran dengan ra’yu itu? Menurut al-Ghazali, hal itu berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian menakwilkan Al-Quran sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujah (alasan) untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan Al-Quran, tanpa sama sekali memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab. Karena Al-Quran turun dalam bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam Al-Quran tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. “Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang Turki tetapi tidak memahami bahasa Turki,” kilah al-Ghazali.
Argumentasi al-Ghazali ini sering diulang lagi oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti al-Zarkasyi,” Jalaluddin as-Suyuthi, dan al-Marsi. Yang menarik adalah argumentasi Thanthawi Jauhari. la menyusun tafsir ilmi karena melihat keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia merasa mendapatkan panggilan Ilahi untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk dan pendorong pengembangan ilmu. Ia yakin betul bahwa hanya dengan cara itulah orang Islam, yang termasuk golongan “mustadh’afin di bumi”, akan dapat memperbaiki nasib. nya. Ia menunjukkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat lebih dari 750 ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dan hanya sekitar 150 ayat tentang ilmu fikih. “Mengapa para ulama Islam menyusun puluhan ribu kitab ilmu fikih?” kata Tanthawi Jauhari, “Apakah dapat diterima oleh akal dan syariat bahwa kaum Muslimin mencurahkan perhatian kepada pengetahuan tentang sedikit ayat, dan mengabaikan pengetahuan tentang sangat banyak ayat.”
Ia menceritakan proses penulisan tafsirnya sebagai berikut:
Hari ini aku memulai tafsirku dengan memohon pertolongan kepada Allah yang Mahasayang dan Maha Mengetahui, dengan merenungkan apa yang sudah menjadi keyakinanku, mudah-mudahan Allah membukakan, dengan tafsir ini, hati manusia, memberikan petunjuk kepada bangsa-bangsa, mengangkat kabut yang menutupi mata kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka memahami ilmu-ilmu alamiah. . . . Mudah. mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi serta rendah, dan supaya muncul dari umat ini orang-orang yang melebihi orang Barat dalam. bidang pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain-lain, juga dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang jelas tentang fikih, tidak lebih dari 150 ayat.
Sudah aku tuliskan dalam tafsir ini hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam, yang diperlukan seorang Muslim. Aku muat di dalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang mendorong kaum Muslimin dan Muslimah untuk menangkap hakikat makna ayat-ayat yang jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit. Dan supaya engkau tahu, hai kaum cendekiawan, bahwa tafsir ini adalah hadiah rabbaniah, petunjuk suci, kabar gembira, diperintahkan kepadaku dengan jalan ilham. Aku yakin bahwa kebesaran tafsir ini akan dikenal seluruh makhluk, dan akan menjadi sebab-sebab utama yang mengangkat kaum mustadh’afin di bumi.
Imbauan Thanthawi Jauhari segera mendapatkan sambutan dengan munculnya berbagai buku yang mengulas Al-Quran secara ilmiah. Hanafi Ahmad menulis At-Tafsir al-Ilm lil al-Ayah al-Kauniah; Ahmad Mahmud Sulaiman mengarang Al-Qur’an wa al-Ilm; Mahmud Mahdi menulis I’jaz al-Qur’an al-Ilm; Ya’qub Yusuf mengarang Lafatat Ilmiyah min al-Qur’an, dan berbagai buku lainnya yang terus bermunculan sampai kini.
Semangat mengungkapkan penemuan-penemuan ilmiah dalam penafsiran Al-Quran menimbulkan reaksi yang cukup berat dari banyak ulama mufasir dan ulama fikih. Abu Hayyan al-Andalusi mengkritik Fakhrurrazi, dan menganggap tafsirnya telah menyimpang dari cakupan ilmu tafsir, Asy-Syathibi juga menulis risalah panjang yang menolak tafsir ilmi. Mungkin kritik paling tajam ialah tulisan as-Syaikh Mahmud Syaltut. Ia menulis tentang perlunya membersihkan tafsir dari dua segi: menggunakan ayat- ayat Al-Quran untuk memperkuat golongan atau pertentangan mazhab, dan menggunakan penjelasan yang diambil dari ilmu pengetahuan modern. Kritik-kritik tersebut dapat disimpulkan dalam hal-hal berikut:
1. Al-Quran diturunkan kepada bangsa yang ummi, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka. Karena itu, tidak mungkin Al-Quran membawakan hal-hal yang berada di luar jangkauan bangsa Arab waktu itu. “Hendaknya kita membatasi penafsir- an Al-Quran hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang diketahui oleh orang-orang Arab… Barangsiapa mencari pemahaman di luar kebiasaan orang-orang Arab, sesatlah pemahamannya itu,” kata asy-Syathibi?
2. Rasulullah s.a.w. dan para sahabat adalah orang-orang yang paling paham terhadap makna hakiki ayat-ayat Al-Quran. Menganggap bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang maknanya baru diketahui pada zaman modern ini, sama saja dengan merendahkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Mereka jelas tidak mengetahui penemuan-penemuan ilmu pengetahuan mutakhir. Dalam bahasa yang keras, Dr. al-Muhtasib menulis, menanggapi ucapan Abdul Aziz Ismail yang menyatakan bahwa orang tidak dapat memahami makna hakiki ayat kedua surat al-Alaq, jika tidak mempelajari ilmu-ilmu modern:
“Pada ucapannya ini terkandung celaan kepada Rasul yang mulia s.a.w, sahabat, dan tabi’in, karena mereka tak memahami makna hakiki tentang sebagian ayat Al-Quran, karena ketidaktahuan mereka akan ilmu-ilmu modern, Padahal Rasul s.a.w. yang ummi adalah penafsir pertama Al-Quran. Sahabat r.a. mengambil ilmu ini dari Rasulullah, dan menambahkannya dengan ijtihad mereka. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas r.a., penerjemah Al-Quran yang didoakan Rasul yang mulia supaya mengerti agama dan mempelajari takwil.
“Pernyataan yang keliru dan salah ini timbul karena meletakkan Al-Quran dalam bidang yang tidak layak diletakkan oleh setiap orang yang memahami maksud Allah Ta’ala. Karena itu, jelaslah bagi orang yang memiliki cahaya ketakwaan dan pengertian rusaknya penafsiran ilmiah semacam ini.”.
3. Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia, agar mereka mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang takwa, dan bukan ilmu pengetahuan tentang hakikat alam semesta atau fenomena alam. Tafsir ilmi mengalihkan manusia dari usaha memperoleh petunjuk ke arah usaha-usaha ilmiah, Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan bahwa salah satu kesalahan kaum Muslimin dalam menafsirkan Al-Quran ialah menyibukkan diri dalam pembahasan tentang ilmu-ilmu kealaman. Ia mengecam al-Fakhrurrazi dan pengikut-pengikutnya yang menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu falak, botani dan biologi, sehingga memalingkan pembacanya dari tujuan sejati Al- Quran.
4. Kebenaran ilmiah tidak tetap dan dapat berubah-ubah. “Apa yang hari ini benar menurut ilmu, besok menjadi khurafat,” kata Syaltut. Mengaitkan Al-Quran dengan masalah-masalah, berarti meletakkan Al-Quran di atas dasar yang sangat goyah.
5. Harus dibedakan antara tafsirul Quran dan i’jazul Quran. Tafsir adalah keterangan tentang kata-kata dan kalimat dalam Al-Quran serta kandungan maknanya. I’jazul Quran berkenaan dengan ketinggian Al-Quran sebagai wahyu Allah, dan kemam- puannya untuk menghadapi perubahan zaman. Ulasan ilmiah mengenai ayat Al-Quran, paling tidak, hanya dapat dimasukkan sebagai I’jazul Quran, dan bukan tafsirul Quran. Al-Muhtasib menyimpulkan kritik terhadap tafsir ilmi dengan mengatakan:
“Cukuplah bagi kita bahwa Al-Quran tak bertentangan dan tak akan bertentangan dengan hakikat ilmu pengetahuan yang diterima oleh akal. Cukuplah bagi kita bahwa Al-Quranlah yang membuka pintu akal kaum Mukminin, mendorong mereka menadaburi, menafakuri, merenungkan, membahas, memikirkan, dan mendalami ilmu pengetahuan. Cukuplah buat kita bahwa orang yang kitab sucinya Al-Quran telah hidup bersama ilmu dalam suasana harmoni dan kasih sayang, sementara pengikut kitab agama yang lain telah menjadi tonggak keras yang menghadang ilmu dan para ilmuwan di abad pertengahan, yang menyebabkan salah seorang pemikir sesat berkata: ‘Agama adalah candu rakyat,’”
Dari argumen dan kontraargumen di atas kita dapat menyimpulkan bahwa menghubungkan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan memerlukan kehati-hatian. Selain penguasaan ilmu pengetahuan ꟷ sehingga mampu membedakan fakta ilmiah dari teori ilmiah ꟷ mufasir ilmi juga tidak boleh mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Arab dan penjelasan-penjelasan yang manqul. Alternatif kita bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari Al-Quran, tetapi menemukan bagaimana perspektif Al-Quran tentang ilmu pengetahuan.
Penghargaan Al-Quran terhadap Ilmu
Saya tidak akan mengulangi ratusan ayat dalam Al-Quran yang mendorong manusia untuk mengamati alam semesta, merenung dan bertafakur, karena yang demikian itu sudah banyak dibicarakan dalam berbagai tulisan. Secara singkat saya akan menunjukkan penghargaan Al-Quran terhadap ilmu:
1. Manusia diangkat sebagai khalifatullah, dan dibedakan dari makhluk Allah yang lain, karena ilmunya. Al-Quran menceritakan bagaimana Adam diberi pengetahuan tentang konsep-konsep seluruhnya (al-asma kullaha), dan malaikat disuruh sujud kepadanya (QS 2:31-33). “Di dunia ini ia diberi kekuasaan atas semua kekuatan alam, melalui pengetahuan tentang rahasia-rahasia alam semesta, yang di sini diungkapkan oleh pengetahuan tentang nama-nama, Pengetahuan ini telah menaikkan statusnya terhadap ciptaan-ciptaan lain Allah.” Beberapa kali Allah mengaitkan penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam surat al-Alaq, Allah mengisahkan proses penciptaan manusia, dan menunjukkan bagaimana Ia memberikan karunia kepada manusia untuk mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui lewat pena (QS 96:1-5). “Berkata Qatadah: pena adalah nikmat Allah yang besar sekali. Bukankah tanpa pena agama tidak dapat ditegakkan, kehidupan tidak dapat diperbaiki. Allah menunjukkan kebaikan-Nya dengan mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang tidak diketahuinya, dan membebaskan mereka dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan mengingatkan mereka tentang keutamaan tulisan yang di dalamnya ada manfaat besar. Tanpa tulisan, tidak tegak urusan agama dan urusan dunia.” Dalam surat ar-Rahman, Allah menunjukkan tiga nikmat-Nya kepada manusia: mengajarkan Al-Quran, menciptakannya, dan mengajarnya al-bayan. Banyak mufasir menjelaskan al-bayan sebagai kemampuan untuk memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu.
2. Karena hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia. Manusia yang ideal dalam Al-Quran ialah manusia yang mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58:11).
3. Al-Quran diturunkan dengan ilmu Allah (QS 11:14), dan hanya dapat direnungkan maknanya oleh orang-orang yang berilmu (QS 29:43). Al-Quran hanya jelas bagi orang-orang yang berilmu (QS 29:49). Merekalah yang segera merebahkan diri dan sujud, bila dibacakan ayat-ayat-Nya (QS 17:107). Untuk memperoleh petunjuk dari Al-Quran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan (QS 30:22, 6:105). Al-Quran menyindir orang-orang yang berdebat tentang Allah (termasuk ayat-ayat-Nya) tanpa ilmu pengetahuan (QS 22:3, 8; 31:20).
4. Al-Quran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki pengetahuan. Thalut dipilih sebagai raja Israel, karena kelebihan pengetahuannya. “Sesungguhya Allah telah memilihnya menjadi rajamu, dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (QS 2: 247). Begitu pula, Dawud diberi kekuasaan atas dasar yang sama Allah mengajarkan kepadanya hikmah dan pengetahuan (QS 2:251). Begitu juga Sulaiman (QS 21:79; 27:15), Luth (QS 21:74), dan Musa (QS 28:14), Ya’qub dan Yusuf (QS 12: 68, 22).
5. Allah melarang kita mengikuti sesuatu yang tentangnya kita tidak memiliki ilmu (QS 17:36). Nabi Nuh pernah ditegur oleh Allah, karena memohon sesuatu yang tidak diketahui (hakikatnya). Lalu “Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya)” (QS 11:46, 47).
6. Allah memberikan contoh bagaimana orang awam tertarik dengan kemewahan dunia seperti yang ditampakkan oleh Qarun. Hanya orang berilmu yang tahu bahwa kemewahan dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (QS 28:80).
Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan
Al-Quran menunjukkan empat sumber untuk memperoleh pengetahuan:
1. Al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-Quran berkali-kali mengingatkan kita untuk memikirkan ayat-ayat-Nya dan mengambil pelajaran darinya, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh. Rasyid Ridha memulai tafsirnya dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Quran yang memperkuat pernyataan di atas (dan karena itu, saya kutip kembali di bawah):
“Alif lam ra. Itulah ayat-ayat kitab yang terang. Sesungguhnya, telah Kami turunkan Quran dalam bahasa Arab, mudah-mudahan kamu memikirkannya.” (QS 12:1-3)
“Sesungguhnya, dalam kisah tentang mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi ulul-albab. Bukanlah Al-Quran ini pekabaran yang diada-adakan saja, malah ia membenarkan (kitab) yang di hadapannya, dan menerangkan tiap-tiap sesuatu, lagi petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.” (QS 12: 111)
“Demikianlah Kami turunkan kitab kepada engkau (Muhammad). Di antara orang-orang yang Kami berikan kitab kepada mereka, mereka beriman kepadanya, dan di antara mereka ini (penduduk Makkah) ada pula yang beriman kepadanya. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang kafir. Engkau (Muhammad) tidak pernah membaca kitab sebelumnya (sebelum turun. Al-Quran), dan tidak pernah pula menulisnya dengan tangan kananmu. (Kalau ada), tentu ragulah orang-orang yang membatalkan (Al-Quran). Bahkan ia adalah ayat-ayat yang terang dalam dada orang- orang berilmu. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang aniaya.” (QS 29:47-49)
“(Inilah) kitab yang Kami turunkan kepadamu lagi diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya ulul-albab mendapatkan peringatan.” (QS 38:29)
“Tidakkah mereka memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari Allah, niscaya mereka peroleh di dalamnya banyak perselisihan.” (QS 4:82)
“Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan, (yaitu) kitab yang serupa (keindahan ayat-ayatnya), lagi didua-duaan (diulang-ulang membacanya); karena itu, menggeletarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah. (Kitab) itulah petunjuk Allah, Dia tunjuki dengannya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak adalah baginya yang menunjuki.” (QS 39:23)
“Sekiranya Kami turunkan Quran ini ke atas gunung, niscaya engkau lihat gunung itu tunduk dan terbelah, karena takut kepada Allah. Itulah contoh, Kami berikan untuk manusia, mudah-mudahan mereka memikirkannya.” (QS 59:21) Tentang as-Sunnah, seorang Muslim bukan saja disuruh mempelajari contoh Rasul (QS 33:21), tetapi juga mengambil apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (QS 59:7). Dan karena seorang Mukmin tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan Allah dan Rasul-Nya (QS 33:36), maka ia harus mengambil pelajaran dari Sunnah Rasul-Nya.
2. Alam semesta adalah sumber kedua ilmu. Al-Quran menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah (QS 13:2-5), penciptaan bumi dan lautan (QS 16:14-18), hujan dan halilintar (QS 30:24; 35:27-28), langit dan bintang-bintang (QS 50:6), tumbuh-tumbuhan (QS 50:9-11; 6:141; 16:10, 11; 13:4; 20:53), binatang (QS 24:45; 53:45-46; 16:68-69; 29:41; 67:19; 16:66), mineral dan logam (QS 35:27; 34:10-12; 57: 25; 18:96), dan lain-lain. Al-Quran menunjukkan hal-hal di alam semesta yang harus diteliti: yaitu materi yang mendasari penciptaan (QS 86:5; 24:45; 76:2), proses penciptaannya sendiri (QS 23:12-14; 21:30; 31:10), proses perubahan fenomena alam (QS 39:21; 30:48), dan hubungan manusia dengan alam (QS 45:13).
3. Diri manusia (anfus) adalah sumber-ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan” (QS 86:5). Ungkapan mimma khuliq mengacu kepada fisiologi dan psikologi manusia sekaligus, karena dalam bahasa Arab, khuliqa mempunyai mashdar, yaitu khalq dan khulq. Karena itu, di dalam Al-Quran, di samping ayat-ayat Al-Quran yang melukiskan penciptaan manusia secara biologis (QS 22:5; 42:49-50), banyak ayat melukiskan watak manusia sebagai individu, seperti ketamakan (QS 4:36-37; 104:1-3; 47:38), kemunafikan (QS 9:77), senang tergesa-gesa (QS 21:37; 17:11), kikir (QS 17:100; 70:21), dan perilakunya sebagai anggota masyarakat. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial yang dilukiskan Allah dalam Al-Quran telah sangat bagus sekali diuraikan oleh Murtadha Mutahhari dalam Al-Mujtama’ wa at-Tarikh.
4. Tarikh umat manusia adalah sumber-keempat ilmu. “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, serta memperhatikan bagaimana akibat orang. orang sebelum mereka, Mereka lebih kuat daripada mereka sendiri, dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya lebih banyak daripada apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata.” (QS 30:9; lihat juga, 12:109; 40:21-22).
Tentang panggilan Al-Quran untuk mempelajari sejarah, Dr. Iqbal menulis.”
“Al-Quran juga memberikan suatu konsepsi dinamis tentang alam semesta, dan mengundang manusia untuk menafakuri keajaiban-keajaiban alam dan sejarahnya sendiri: bagaimana bangsa demi bangsa tampil di dunia, bangun dan jatuh karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Al-Quran menamakan hal ini, ‘Hari-hari Allah’ (Ayyamullah), dan memandangnya sebagai sumber ketiga pengetahuan manusia. Untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa secara kolektif dinilai, dan mereka men. derita karena perbuatan-perbuatan buruk mereka di dunia ini, Al-Quran mengutip contoh-contoh sejarah berbagai bangsa, dan mendesak para pembacanya untuk menafakuri pengalaman masa lalu dan masa kini manusia.”
Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Banyak ayat Al-Quran menegaskan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan ialah mengenal tanda-tanda Allah, menyaksikan kehadiran-Nya di berbagai fenomena yang kita amati, dan akhirnya mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Menurut Al-Quran, ilmu harus dikembangkan untuk melahirkan manusia berilmu yang hanya takut kepada Allah (QS 35:28), atau ulul-albab, yang tanda-tandanya disebutkan 16 kali dalam Al-Quran. Tetapi di samping itu, Al-Quran menyebutkan tiga hal lainnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
1. Ilmu pengetahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab-akibat, dan tujuan di alam semesta. Dalam banyak ayat Al-Quran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh Pengurus dan Pencipta yang tunggal, karena itu tidak akan pernah ada kerancuan (tafawut) di dalamnya (QS 67:3). Alam ini bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk bermain-main, dan bukan merupakan perbuatan yang sia-sia (QS 6:73; 21:16-17; 44:38, 39; 23:115; 3:191). Keteraturan (dalam ilmu, biasanya disebut sebagai hukum-hukum) yang terdapat dalam afaq. disebut Al-Quran sebagai qadar atau takdir (QS 65:3; 6:96; 36:38; 54:49; 10:5; 87:3), sedangkan keteraturan dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah (disebut 16 kali dalam Al-Quran, 2 kali disebut dalam bentuk jamak).
2. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala yang di langit dan di bumi, buat manusia (QS 22:65; 31:20; 16:14; 14:32; 7:10; 28:73; 6:97).
3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan di bumi, baik kerusakan afaq maupun anfus (QS 7: 56, 85;47:22; 2:205; 13:25, 26:152).
Cara Memperoleh Pengetahuan
Dalam banyak ayat Al-Quran, ditunjukkan berbagai cara untuk memperoleh pengetahuan: melalui persepsi indera, melalui kalbu, dan lewat wahyu atau ilham. Yang pertama dan kedua sering disebutkan dalam Al-Quran secara bersamaan:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS 16: 78)
Pendengaran dan penglihatan adalah alat pengamatan yang mem berikan pengetahuan indera, dan hati dalam terminologi Al-Quran menunjukkan fakultas yang merenungkan, memahami, dan meng- ambil pelajaran (QS 7:179; 22:46; 30:59; 50:37).
Pengetahuan Indera
Al-Quran mengakui permulaan pengetahuan lewat eksperimen dan pengamatan inderawi (QS 29:20; 10:101; 88:17). Allah memberikan contoh bagaimana Dia mengajarkan manusia pengetahuan melalui contoh-contoh yang dapat diamati. Allah mengajari Qabil cara mengubur mayat dengan perantaraan burung gagak (QS 5:31), mengajari seorang laki-laki saleh pengertian kebangkit an manusia lewat pengamatan eksperimen (QS 2:259), dan menunjukkan kepada Ibrahim a.s. bagaimana menghidupkan yang mati, juga lewat eksperimen (QS 2:260). Di tempat yang lain, Al- Quran mengajarkan konsep-konsep yang abstrak dengan menganalogikannya pada hal yang konkret (QS 2:261; 14:26; 24:35; 35:9). Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak menggunakan inderanya untuk memperoleh pengetahuan (QS 7:179; 7:195; 8:21;7:198).
Walaupun begitu, Al-Quran menjelaskan keterbatasan alat indera untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Al-Quran mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk sampai kepada kebenaran seperti kaum Nabi Musa yang ingin melihat Allah secara langsung (QS 2:55; 4:153) atau orang-orang yang berkata kepada Nabi, bahwa mereka baru mau beriman apabila melihat air yang memancar dari dalam bumi, langit yang runtuh, atau munculnya malaikat (QS 17:90-93), Kaum positivis yang hanya menganggap pengetahuan seperti yang dapat diamati atau diukur, disindir Al-Quran sebagai:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia” (QS 30:7).
Selain itu, Al-Quran juga menunjukkan adanya realitas yang tidak dapat diamati:
“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang yang dapat kamu lihat.”(QS 13:2)
“Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS 69:38-39)
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS 36:36)
Menurut Dr. Mahdi Gulshani, yang menarik dewasa ini ialah besarnya pengaruh positivisme pada pikiran para sarjana Muslim. Positivisme hanya memandang apa yang dapat diamati dan menolak adanya pengetahuan di luar pengalaman inderawi. Tidak mungkin kita mengkritik positivisme dalam tulisan ringkas ini. Secara singkat kita dapat menunjukkan bahwa:
1. Tidak ada data yang murni eksperimental. Kita selalu mengamati sesuatu dengan persepsi tertentu, dengan teori tertentu. Hanson, Kuhn, dan Toulmin sepakat seperti Feyerabend yang menyatakan bahwa “teori-teori ilmiah merupakan cara-cara untuk melihat dunia; dan penggunaan atas teori-teori ilmiah itu mempengaruhi keyakinan dan harapan umum kita, dan dengan demikian juga mempengaruhi pengalaman-pengalaman kita,”
2. Seperti dinyatakan oleh Einstein, konsep-konsep dasar ilmu tidak diperoleh lewat induksi dari pengalaman indera, tetapi semata-mata ciptaan pemikiran manusia. Teori tidak pernah lahir dari pengamatan langsung atas data eksperimental. Seperangkat data eksperimental malah dapat dijelaskan oleh beberapa teori. Menurut Hanson, matahari Tycho tidak sama dengan matahari Kepler. Mengapa? Karena keduanya mempunyai kerangka tafakur yang berlainan.
Pengetahuan Akal
Al-Quran menyebutkan adanya pengetahuan yang diperoleh lewat ta’aqqul, tafaqquh, dan tadzakkur (merenungkan, memikirkan, memahami, dan mengambil pelajaran). Pengetahuan jenis inilah yang dapat “menangkap” ayat-ayat Allah pada kejadi. an langit dan bumi (QS 2:164; 50:6-11; 13:3-4; 16:12, 67; 24: 35; 30:24, 28; 45:5, 2:219, 10:24; 16:11, 69; 30:21; 39:42; 45:13).
Pengetahuan akal jelas lebih tinggi daripada pengetahuan indera. Menurut Al-Quran, fakultas yang mempunyai fungsi akal disebut qalb atau fuad. Pengetahuan indera boleh jadi memberikan masukan pada qalb lewat mekanismenya sendiri. Betapapun tingginya pengetahuan akal dibandingkan dengan pengetahuan indera, dapat juga jatuh dalam kekeliruan-kekeliruan fatal. Al-Quran menyebut beberapa faktor yang mendistorsi pengetahuan akal.
1. Tidak ada iman. Tanpa iman, orang tidak akan sampai pada pengetahuan yang benar. Ia akan terjebak dalam pandangan materialistis, dan tidak melihat realitas yang nonmaterialistis, (QS 63:3; 30:53; 6:125; 16:104; 41:44; 10:101; 53:23, 30).
2. Mengikuti hawa nafsu dan angan-angan. Berpikir mengikuti keinginan (wishful thinking), atau untuk membela kepentingan-kepentingan pribadi, akan memalingkan orang dari kebenaran dan menyesatkannya dari jalan Allah (QS 28:50; 45:23; 2:120;2:120; 6:119).
3. Kecintaan dan kebencian buta serta fanatisme: Ini adalah kumpulan prasangka yang akan melemahkan kemampuan akal (QS 41:17; 29:38; 47:9; 43:78; 16:107-108).
4. Mengikuti secara membuta pandangan masa lalu atau tokoh- tokoh pemikiran: keterikatan pada otoritas (tradisi atau pemimpin) mengeruhkan proses berpikir dan menjauhkan dari petunjuk (QS 33:67; 2:120; 5:104; 43:23, 24; 11:59, 97).
5. Takabur. Merasa diri pintar, bijak, dan meremehkan pendapat orang lain, ditawari Al-Quran dengan siksa yang berat. Takabur selain dapat menimbulkan murka Allah, juga menimbulkan kerusakan dan menghambat ilmu atau pemikiran (QS 45: 8, 9; 40:35; 27:13, 14; 46:26; 7:40; 71:7; 7:146)
6. Kebodohan atau mengikuti spekulasi (zhan). Sumber kesalahan berpikir terletak pada kebodohan tentang masalah yang dipikirkan, dan mengganti informasi dengan hanya berlandas. kan zhan (QS 45:24; 53:28; 11:47; 10:36; 3:154; 3:66; 6: 119; 22:8).
7. Ketergesaan dalam memutuskan atau menarik kesimpulan. Ketergesaan selalu menyiratkan kurang cermat, sehingga menimbulkan kesalahan (QS 21:37; 20:114).
8. Sama sekali tidak menggunakan akal. Al-Quran mencela orang-orang yang beramal dari data lahiriah saja dan tidak berpikir (67:10; 5:58; 10:42; 22:46; 8:22).
Pengetahuan Wahyu atau Ilham
Karena Allah adalah sumber pengetahuan, maka Allah dapat memberikan ilmu kepada yang dikehendaki-Nya tanpa proses berpikir atau pengamatan empiris. Kita tidak akan membicarakan wahyu yang hanya diberikan kepada para Nabi dan ꟷ dalam pengertian umum ꟷ diberikan kepada ibu Musa (QS 20:37, 38; 28:7).
Menurut Al-Ghazali, ilmu ini tidak diperoleh lewat pengamatan atau pemikiran, tetapi lewat dzauq. Kadang-kadang ilmu ini disebut sebagai ilmu laduni. Dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah menggunakan kata ‘allamnahu (Kami ajarkan dia) atau ‘allamahu untuk menunjukkan proses ketika Allah langsung memberikan ilmunya (QS 2:251; 12:101; 5:110; 12:68).
Selain Al-Ghazali yang cukup banyak mengulas pengetahuan ini, adalah tokoh-tokoh sufi, seperti Suhrawardi yang lebih terkenal sebagai Syaikh al-Isyrak, Ibn Arabi, Mullasadra dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Suhrawardi mendirikan mazhab isyrak sebagai lawan mazhab peripatetis Aristoteles. Ia menyerang filsafat Yunani, dan menganggap pengkajian alam sebagai penafsiran hermeneutis atau penetrasi lambang-lambang kosmologis. Akal tidak akan dapat mencapai kebenaran transendental. Ibn Qayyim menyebut tiga macam ilmu: ilmu jali yang terdiri atas pengetahuan indera dan akal; ilmu khafi yang diperoleh melalui riyadhah yang ikhlas dan tumbuh di batin yang bersih dan badan yang suci; dan ilmu laduni yang diberikan Allah langsung tanpa perantara. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).