
Tafakur adalah berefleksi, berpikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam; tasykir adalah memperoleh penguasaan atas alam (dengan teknologi). Keduanya, sepanjang zaman, merupakan dorongan terpadu seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa Al-Quran, dengan perintah yang diulang berkali-kali, mengandung suruhan untuk bertafakur dan ber-tasykir (mengejar sains dan teknologi) sebagai kewajiban atas masyarakat Muslim.”
Pernyataan di atas dikutip dari tulisan Abdus Salam, pemenang Hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika. Abdus Salam adalah ilmuwan Muslim yang pada 1960-an, bersama Steven Weinberg dan Sheldon Glashow, mengembangkan “teori medan gabungan” (unified field theory); suatu teori yang menyatakan bahwa semua gaya yang ada di dunia bermula dari satu single force, bahwa pada saat terjadi Big Bang, kira-kira 15 miliar tahun yang lalu, gaya elektromagnetik pernah berpadu dengan gaya nuklir lemah. Teori ini juga meramalkan adanya serangkaian partikel, vektor boson yang membawa gaya lemah. Pada 1983, suatu tim yang dipimpin Carlo Rubbia, dari Harvard University, membuktikan kebenaran teori Abdus Salam dengan penemuan dua partikel, “W” dan “Z”.
Walaupun teori unifikasi gaya ini menarik untuk dikaji, terutama karena ada hubungannya dengan tauhid dan kefanaan diri kita, saya tidak bermaksud membicarakannya sekarang. Saya hanya ingin menggarisbawahi kenyataan bagaimana Al-Quran telah mengantarkan seorang Muslim pada penemuan sains dan teknologi yang menakjubkan. Seakan-akan saya melihat Islam, sains, dan teknologi berpaut erat dalam diri Abdus Salam. Dalam diri Abdus Salam, tafakur dan tasyakur telah memperoleh makna baru.
Ada lima pendekatan dalam membicarakan hubungan Islam, sains, dan teknologi:
- Menunjukkan bagaimana Islam mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi. Artikel Abdus Salam yang kita kutip sebelumnya merupakan contoh pendekatan ini. Pendekatan ini sudah sering dilakukan orang. Kitab-kitab di pesantren, sejak “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Miftah Al-Khithâbah wa Al-Wa’zh, atau “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Taisir Al-Wushûl, sampai “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Ihya’ ‘Ulûm Ad-Din, membicarakan hal ini dengan merujuk kepada Al-Quran dan hadis.
- Mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi. Ini pun sudah banyak dibicarakan. Mohammad Natsir, ulama pejuang kemerdekaan Indonesia, sudah melakukannya, bahkan sejak zaman penjajahan dahulu. S.I. Poeradisastra telah menulis buku khusus tentang ini (Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Girimukti Pasaka, 1986), yang tentu jauh lebih baik dan lebih lengkap daripada apa yang mungkin saya sampaikan di sini.
- Membahas secara falsafi nisbah Islam, sains, dan teknologi. Apakah Islam hanya memberikan landasan aksiologi, atau menentukan epistemologi dan ontologi sains? Bagaimana hubungan Islam dengan teknologi? Pendekatan ini erat kaitannya dengan pendekatan keempat di bawah ini.
- Menentukan apakah ada sains yang islami? Bagaimana ben- tuk sains dan teknologi yang islami?
- Menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam?
Saya akan mengambil pendekatan kelima. Di bagian pertama, saya akan memberikan gambaran singkat mengenai kemajuan sains dan teknologi, semacam “kaleidoskop”. Tentu saja, saya hanya akan memilih beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sebagai kaum Muslim. Di bagian kedua, saya akan menawarkan kepada Anda apa yang harus dilakukan umat Islam dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
Perkembangan Sains dan Teknologi
Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave, menjelaskan perubahan umat manusia dari gelombang peradaban pertama, kedua, dan ketiga, dengan menganalisis empat sistem yang saling berkaitan: techno-sphere, info-sphere, socio-sphere, dan psycho-sphere. Keempat sistem ini membentuk, memengaruhi, dan menentukan dinamika masyarakat manusia. Techno-sphere adalah lingkungan teknologi, yang meliputi sistem penggunaan energi, sistem produksi, dan sistem distribusi barang. Info-sphere adalah lingkungan informasi, yang merupakan sistem saluran informasi untuk mendistribusikan pesan-pesan individu, kelompok, atau organisasi. Socio-sphere adalah sistem sosial yang menentukan peran individu dalam hubungannya dengan sesamanya. Psycho-sphere adalah suasana kejiwaan, keadaan ruhaniah, yang meliputi seluruh anggota masyarakat.
Menurut Toffler, kita sekarang berada di ambang peradaban ketiga. Gelombang peradaban kedua mulai runtuh. “Sebenarnya kita sedang mengalami bukan saja hancurnya techno-sphere, atau socio-sphere gelombang kedua, melainkan juga rontoknya psycho-sphere.”
Di sini, perkembangan sains dan teknologi akan dilihat dengan menggunakan kerangka Toffler yang menyebutnya sebagai revolusi teknologi, revolusi informasi, revolusi sosial, dan revolusi psikologis. Mengapa disebut revolusi? Karena perubahan itu begitu cepat di bandingkan dengan perubahan kultural umat manusia selama ratusan tahun.
Revolusi Teknologi
Semua teknologi adalah pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan baik dan tujuan jahat sekaligus. Tetapi, teknologi mutakhir menimbulkan manfaat yang banyak, dan mudarat yang jauh lebih banyak lagi.
Teknologi nuklir dapat memberikan sumber energi ketika sumber energi lain mulai menyusut. Dunia kedokteran telah menggunakan teknologi nuklir, tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit, tetapi juga untuk membunuh sel-sel kanker. Pion cancer therapy, misalnya, menggunakan tembakan partikel Pion untuk membunuh tumor ganas. Tetapi, seperti kita ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada di dunia sekarang ini memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di Hiroshima.
Biologi dan kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankan struktur kehidupan modern, seperti purifikasi air, pembuangan sampah, imunisasi, peningkatan pertanian, kesehatan, pengobatan, pengolahan, dan penyimpanan makanan. Sekarang ini, bioteknologi sudah sanggup ̶ dengan teknik pembelahan gen atau DNA rekombinan ̶ menjadikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia yang menghasilkan insulin dan interferon. Insulin diperlukan oleh mereka yang menderita diabetes, dan interferon diperlukan oleh mereka yang mengidap kanker. Tetapi, bioteknologi juga telah dipakai untuk mengembangkan senjata biokimia yang dapat memusnahkan ternak, tanaman, dan bahkan manusia. Karena amat erat kaitannya dengan umat Islam, maka secara khusus akan saya paparkan bioteknologi yang digunakan untuk “membuat” manusia.
Teknologi ruang angkasa telah melahirkan satelit yang dapat digunakan untuk navigasi, ramalan cuaca, memonitor sumber-sumber alam, menunjukkan masalah polusi, kegagalan panen, atau penyakit hewan. Pada saat yang sama, lebih dari 1.800 satelit yang sekarang berada di ruang angkasa telah dipakai untuk tujuan-tujuan militer, di samping untuk menghancurkan sesama satelit, sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah-sampah radioaktif.
Teknologi pengubahan lingkungan dapat dipakai untuk menyelamatkan suatu daerah dari bahaya banjir, mencegah deser-tifikasi (meluasnya gurun), atau menyediakan air bagi daerah yang kekeringan. Namun, teknologi ini juga telah dapat digunakan untuk peperangan geofisis: menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan air sungai, gempa bumi, gelombang laut, atau ledakan vulkanis.
Ada satu perkembangan teknologi yang dapat merisaukan kita, yaitu rekayasa genetika. Lewat rekayasa ini, dimungkinkan untuk “membuat” bayi manusia. Sekarang ini, ada delapan kemungkinan (cara) yang telah ditemukan ̶ empat di antaranya akan saya coba jelaskan secara ringkas:
1. Inseminasi artifisial
Inseminasi artifisial (buatan) bermula setelah ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma yang dibungkus dalam gliserol, kemu- dian dibenamkan ke dalam cairan nitrogen, dan dibekukan pada temperatur -321°F dapat bertahan cukup lama. Beberapa bayi telah dilahirkan dari sperma yang diawetkan selama tiga belas tahun. Bila seorang wanita diinseminasi dengan sperma suaminya, walaupun tidak melalui hubungan seksual, hal itu tidak menjadi persoalan. Persoalan timbul, misalnya, jika suami menyimpan spermanya di bank pada waktu muda (bank-bank sperma sudah banyak di Amerika), kemudian baru menggunakannya pada istrinya bertahun-tahun kemudian; atau istri menarik sperma suaminya dari bank setelah suaminya meninggal dunia. Bila terjadi kehamilan, bagaimana kedudukan anak itu? Itulah masalah yang timbul dengan kemungkinan pertama.
2. Inseminasi dengan sperma donor
Hal ini lebih merisaukan lagi. Sperma boleh berasal dari donor yang diketahui identitasnya, atau dari donor di bank yang dirahasiakan. Lebih rumit lagi, seorang gadis yang ingin mempunyai anak tanpa suami dapat memesan sperma dari bank, lalu meminta dokter “menginjeksikan” sperma itu pada tuba falopinya. Berzinakah gadis itu?
3. Transplantasi Ovarium
Cara ini dilakukan dengan mencangkokkan ovum seorang wanita pada wanita lain. Setelah itu, baru dilakukan inseminasi buatan. Tetapi, bagaimana hubungan anak dengan wanita itu?
4. Fertilisasi in vitro (dalam tabung)
Fertilisasi terjadi di luar tubuh. Setelah embrio terbentuk, embrio dimasukkan ke dalam rahim ibu. Persoalan-persoalan terdahulu dapat terjadi lagi di sini, ditambah masalah-masalah baru. Sekarang kita dapat menanamkan embrio pada rahim siapa saja. Yang jelas, tentu pada rahim manusia, tidak selalu pada rahim ibu pemberi ovum. Di Amerika, sekarang ada ibu-ibu yang bersedia menyewakan rahimnya dengan upah tertentu. Mereka disebut surrogate mother, gestational mother, contractual baby-bearer, mercenary mother, dan sebagainya. Lalu, anak yang lahir itu anak siapa? Kini, pengertian orangtua harus didefinisikan kembali. Bahkan sekarang ini juga sudah dipikirkan untuk menanamkan embrio pada rahim binatang-sapi, misalnya. Menurut Robert T. Francoeur, embriolog, hal ini tak sulit untuk dipraktikkan, kecuali kalau ada kendala moral dan agama.
Keempat cara yang lain adalah extracorporeal gestation (bayi tabung), parthenogenesis (pengembangan sel telur yang tak dibuahi), cloning, dan embryo fusion (menggabungkan dua embrio yang memiliki empat orangtua). Menurut Lederberg, semua rekayasa ini belum dapat dijalankan sekarang, namun dalam tempo sepuluh atau tiga puluh tahun dapat dipraktikkan.
Revolusi Informasi
Revolusi teknologi juga telah menimbulkan saluran-saluran komunikasi yang baru. Radio dapat dihubungkan dengan pesawat telepon, sehingga sinyal dapat dikirimkan ke kantor, rumah. mobil, atau ke beeper portabel, telepon genggam. Telepon dapat digunakan untuk telekonferensi, atau dikombinasikan dengan rekaman dan komputer untuk menyebarluaskan informasi. Televisi dapat disetel ke stasiun-stasiun luar negeri melalui siaran langsung lewat satelit (DBS). Dalam tempo singkat, kaset video dan disk akan menjadi lebih murah, sehingga dapat dimiliki banyak orang. Komputer akan banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan keseharian manusia. Disambungkan dengan pusat informasi, komputer dapat menggantikan surat kabar, perpustakaan, sekolah, pengajian, dan sebagainya. Melebarnya perluasan dan intensitas jaringan-jaringan informasi akan mengubah banyak perilaku manusia. Sudah siapkah kita, umat Islam, menyambut perubahan-perubahan ini?
Revolusi Sosial
Akibat-akibat revolusi teknologi dan revolusi informasi ialah revolusi sosial. Revolusi teknologi, pada umumnya, akan menempatkan negara-negara adidaya pada kedudukan yang menguntungkan secara politis, ekonomis, dan kultural. Banyak bangsa di negeri terbelakang akan memandang negara-negara Barat sebagai rujukan nilai. Akan terjadi bukan saja kebergantungan politis dan ekonomis, melainkan juga kultural. Di sini nilai-nilai Islam akan banyak bertabrakan dengan nilai-nilai Barat. Arus informasi yang satu pihak (one-sided) akan membanjiri umat Islam dengan nilai-nilai bawaan yang tidak relevan. Barangkali akan terjadi benturan nilai antara anak-anak muda dan orangtua. Kontrol orangtua terhadap anak akan makin sukar. Revolusi informasi juga menyebabkan massa sangat rapuh terhadap persuasi massa. Mereka yang menguasai media akan menjadi agen-agen sosialisasi, pendidik, pengarah, dan pengatur tingkah laku. Kedudukan orangtua dan guru akan berkurang.
Tidak seluruhnya revolusi sosial ini bersifat negatif. Penyebaran jaringan informasi akan melancarkan proses demokratisasi informasi. Ini berarti meningkatkan pengetahuan masyarakat kelas bawah. Pengetahuan menjadi relatif lebih terbuka bagi semua orang.
Revolusi Psikologis
Tidak sebagaimana Toffler ̶ yang menganalisis guncangan psikologis sebagai akibat sekaratnya gelombang peradaban kedua ̶ saya melihat hal-hal menarik dalam sikap para ilmuwan dewasa ini. Marilyn Ferguson melaporkan secara terperinci perubahan sikap ini dalam bukunya, The Aquarian Conspiracy: Personal and Social Transformation in Our Time. Sejak 1970-an, dan makin intensif pada awal 1980-an, muncul gerakan yang memandang sains dengan sikap skeptis. Everett Mendelsohn, seorang ahli biologi Harvard, berkata, “Sains sebagaimana yang kita ketahui telah melewati masa gunanya.” Theodore Roszak, dalam Where the Wasteland Ends, mengejek rasionalitas ilmiah, dan mengajak orang pada kepekaan agama. Menurut Roszak, objektivitas ilmiah telah menurunkan pengalaman manusia dari tabiat alaminya, dan menghilangkan misteri dan kesucian dari kehidupan. Akal hanyalah kemampuan manusia yang terbatas. Di samping akal, ada lagi spiritual knowledge.
Kalangan ahli ilmu jiwa melontarkan serangan-serangan kepada metode ilmiah, “Kita selalu menganggap ilmu hanya pada hal-hal yang verbal, eksplisit, rasional dan logis, realistis, serta ada hubungannya dengan pancaindra. Tak kalah pentingnya adalah misteri, kesamaran, kontradiksi tidak logis, dan pengalaman transendental.” Ahli fisika, Werner Heisenberg, melontarkan prinsip ketidakpastian (principle of uncertainty). Menurut prinsip ini, ilmu pengetahuan yang rasional hanya dapat sampai pada kemungkinan statistik saja. Kini, di kalangan ilmuwan mulai disadari pentingnya memandang alam sebagai suatu sistem utuh, melihat kekuatan-kekuatan suprarasional, metaempiris di balik semua kekuatan materialistis entah karena kekecewaan terhadap sains, atau karena penemuan- penemuan baru dalam sains yang membawa mereka pada tingkat kesadaran baru. “Kita sedang berjalan menghampiri ambang agama,” kata Roberto Assagioli, seorang psikolog terkenal dari Italia.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Dunia kini dan masa depan adalah dunia yang dikuasai sains dan teknologi. Mereka yang memiliki keduanya akan menguasai dunia. Bila ̶ dengan meminjam istilah Marx ̶ sains dan teknologi merupakan infrastruktur, keduanya akan menentukan suprastruktur dunia internasional termasuk kebudayaan, moral, hukum, bahkan agama. Bila Islam ingin kembali memainkan perannya, tidak bisa tidak ia harus menguasai sains dan teknologi. Bukan upaya yang mudah, memang, apalagi di tengah-tengah berbagai kemelut yang melanda Dunia Islam dewasa ini. Tetapi kita dapat memulai dari lingkungan yang paling dekat dengan kita. Kecintaan terhadap ilmu harus disosialisasikan kepada anggota keluarga kita, jamaah kita, dan saudara-saudara kita seagama. Kegiatan-kegiatan ini mungkin dapat dimulai dari sikap positif untuk mencari informasi, mempermasalahkannya, mengoreknya, dan menelitinya. Ini berarti kita harus membiasakan umat bersikap terbuka ̶ mendidik mereka berpikir luas.
Mungkin kita dapat memulainya dari topik-topik bahasan yang tidak berkenaan dengan ilmu-ilmu keras atau ilmu-ilmu alamiah. Sains dan teknologi sebagai perangkat keras mudah dibeli. Tetapi mengubah keduanya menjadi milik yang fungsional memerlukan perubahan mentalitas. Bukan mengada-ada, kalau kita mengatakan, kebiasaan menghidupkan perbedaan pendapat (atau berijtihad bagi yang berkualifikasi) merupakan prasyarat tumbuhnya sikap ilmiah. Secara institusional, mungkin harus sudah mulai dipikirkan menyalurkan dana kaum Muslim ̶ infak, zakat, sedekah, wakaf, dan sebagainya ̶ untuk kegiatan pengembangan sains dan teknologi. Menggunakan uang untuk pengembangan sistem informasi mungkin lebih bernilai daripada mengulangi naik haji yang melulu ritual. Begitu pula, lebih baik membuat perpustakaan ilmiah yang lengkap ketimbang melebarkan masjid yang jarang dipenuhi jamaah.
Perluasan wawasan ilmiah tentu akan memaksa kita untuk merekonstruksi pemahaman kita tentang Islam. Fikih yang dirumuskan para mujtahid abad ke-9 tentu saja sudah tidak memadai lagi sekarang. Masalah istinja, tayamum, qunut, haji tamattu’, dan sejenisnya harus dikesampingkan untuk memberi tempat pada inseminasi, eutanasia, perbankan, pendidikan Islam, media Islam, dan sebagainya. Ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna “hikmah” dan “mujadalah”, tetapi mengupas psikologi komunikasi, penggunaan media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Ilmu hadis mungkin bisa “computerized” dan diajarkan seperti kita mengajarkan “computerized architecture“.
Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Untuk itu, buat Indonesia, barangkali diperlukan kerja sama yang erat antara lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti IAIN dan pesantren-pesantren, dengan perguruan-perguruan tinggi dan lembaga sains dan teknologi, seperti ITB, LIPI, dan sebagainya. Mungkin diperlukan sejenis lembaga yang menampung dan mempertemukan cendekiawan Islam dari berbagai disiplin ilmu. Selain harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir, lembaga ini pun dapat berfungsi sebagai badan yang memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut diprioritaskan, atau hal- hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi; di samping mencari alternatif Islam dalam ekonomi, pendidikan, politik, rekayasa sosial-budaya, dan sebagainya. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).