
Waktu itu, Taufiq Ismail punya “hajatan” aneh. Ia mengumpulkan para mubalig untuk menyampaikan puisi-puisi mereka. “Mubalig sama dengan penyair, bergulat dengan kata-kata. Karena itu, mereka pasti mahir bersyair-syair,” katanya, ketika ia mengundang saya untuk membacakan puisi-puisi saya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya memang suka menulis puisi, tetapi untuk keperluan sendiri. Tidak pernah dipublikasikan, apalagi dibaca di depan umum. Saya penyair dalam pengertian yang sama dengan para biduan toilet. Saya cuma bernyanyi di kamar mandi.
Di TIM, saya terkejut, karena di situ sudah berkumpul para mubalig yang juga penyair beneran—antara lain—Ustad Endang Saefuddin Anshari, K.H. Mustofa Bisri, dan Kiai Zawawi Imron. Dan, saya bukan penyair, bukan pula kiai. Hampir-hampir saya memutuskan untuk pulang. Ama—panggilan saya untuk Ustad Endang—dan Zawawi mencegah saya sambil memberi dorongan layaknya kakak-kakak kepada adiknya. Mereka mengingatkan saya bahwa setiap orang sebetulnya penyair. Seperti Plato, seakan-akan mereka berkata, “Dalam sentuhan cinta, setiap orang menjadi pujangga.” Zawawi malah memperbaiki penampilan kekiaian saya. Ia mengambil peci hitam saya, memasukkan kertas ke dalamnya, dan peci saya yang lusuh itu tegak kembali.
Dari cara memperbaiki peci saya, saya yakin betul Zawawi memang seorang kiai, yang dibesarkan dalam tradisi santri dari Madura. Ia tinggal di desa, bergaul setiap hari dengan orang-orang desa. Ia bukan saja mengajar rakyat di kampungnya, ia juga belajar dari mereka. Ia mengalami kehidupan desa secara fenomenologis. Ia menangkap tawa dan tangis mereka, canda dan kerja mereka, tidak dari mata pengamat netral. Ia merasakannya sendiri. Ia terlibat di dalamnya. Ketika ia menceritakan pengalamannya kepada kita, kita dibawa hanyut ke dalam pengalaman orang-orang desa.
Dengan kepolosan orang dari kampung, sambil tertawa, ia mengisahkan cerita berikut ini di rumah saya. Ia tenang saja ketika saya berusaha menahan tangisan. Saya yakin Anda pun akan menangis seusai membaca kisah Zawawi
ini:
“Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan shalat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekadarnya, ia keluar dari masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari itu sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari, takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun-daun itu. Perempuan tua itu mau menjelaskannya dengan dua syarat: pertama, hanya kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.
“Saya ini perempuan bodoh, Pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada Hari Akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad Saw Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah Saw. Kelak, jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi Muhammad Saw menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepada beliau.”
Saya kisahkan lagi cerita ini kepada pembaca, karena dalam kumpulan kisah Sate Rohani dari Madura ini kisah itu tidak atau belum dimuat. Seperti kisah di atas, semua kisah di dalamnya mengandung pelajaran yang sangat berharga. Seperti chicken soup yang kini sangat populer, setiap cerita membuat kita terpaksa merenung. Ada pesan agung di baliknya. Seperti kisah-kisah tasawuf, di dalam komedi dan tragedi, ada kearifan yang mendalam. Dari kisah di atas, kita diajari untuk tidak mengandalkan amal-amal kita. Kita harus menghindari ujub yang menjatuhkan diri kita dari haribaan Tuhan. Kita harus selalu rendah hati. Pada saat yang sama, kisah itu juga mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw yang tulus. Semua itu keluar dari kepolosan penduduk desa Kepandaian dan pendidikan dapat meningkatkan intelek sama jauhnya dengan menurunkan ruhani kita. Konon, Imam Khomeini pernah berdoa, “Tuhan, jangan cabut dariku rohnya orang awam.”
Kearifan orang awam disajikan kepada kita lewat cerita-cerita kecil di sini. Ketika banyak ibu membanggakan kaset-kaset Al-Quran yang dibelinya, seorang ibu berkata, “Maaf ibu-ibu, barangkali saya egois. Saya sangat senang bila mendengarkan anak saya yang berumur enam tahun membaca Al-Quran, meskipun lidahnya masih pelat atau cadel. Saya seperti mendapatkan janji Allah tentang masa depan. Itu saja.”
Ketika seseorang menangisi kematian kuda tuanya, orang-orang menegurnya. Ia memberikan jawaban yang mengejutkan. “Sejak dua puluh tahun yang lalu ia telah menjadi kakiku. Ia hanya berjalan untuk mengantarkan tubuhku ke mana-mana, ke masjid, ke pengajian dan bersilaturrahmi ke kampung yang jauh. Sungguh besar utang budiku kepadanya. Yang kutangisi ialah karena aku tidak tahu cara berterimakasih kepadanya.”
Atau, dengar pengakuan seorang mantan napi, yang menemukan Tuhan di penjara, “Dalam shalat dan zikir, saya merasa mendapat belaian kasih sayang Allah sehingga lantai penjara sering basah oleh air mata saya. Yang membuat saya sangat malu bila istri mengirimkan makanan ke penjara. Ada hal yang membuat dunia menjadi terbalik. Sebenarnya sayalah yang harus memberi makan istri saya. Tetapi, kenyataannya, istri yang memberi makan.”
Semua kearifan itu diungkapkan Zawawi melalui tokoh-tokoh dari desa seperti Mat Kacung, Dulmok, dan kawan-kawannya. Terima kasih, Pak Kiai Zawawi, peci saya yang sudah dilusuhkan karena kepongahan intelektual telah engkau tegakkan kembali dengan kerendahan hati orang awam, roh awam. JR —wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).