
Ketika orang bijak memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, ia tidak akan lagi memperhatikan omongan yang salah kaprah, dan tidak pula ia ragu-ragu untuk menentang kepercayaan orang kebanyakan. Sungguh, ia akan menaruh perhatian pada kebenaran apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan.
Mulla Sadra, Asfar, 6:6
Tidak benar filsafat Islam berakhir pada abad 12 bersamaan dengan kematian Ibn Rusyd, kata T. Izutzu. Justru, kematian Ibnu Rusyd menengarai kelahiran “filsafat Islam” yang sebenarnya—yang merujuk pada Al-Quran dan Sunnah; filsafat yang disebut Henry Corbin sebagai filsafat profetik. Di barisan paling depan, Mulla Sadra berdiri mengibarkan bendera pemikiran Islam yang “dicelup” dengan sibghatullah. Di samping metode empiris dan rasional untuk memperoleh pengetahuan, Mulla Sadra menegaskan pentingnya wahyu. Proposisi-proposisinya bukan hanya dibenarkan dengan pembuktian rasional, tetapi juga dengan pembuktian berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, sabda Nabi saw, dan petunjuk para Imam. Dalam pengantarnya kepada Asfar, ia menceritakan asal- usul pencapaian filsafatnya:
Aku bertaubat di hadapan Allah karena telah menghabiskan bertahun-tahun dalam hidupku mengikuti pendapat para mutakallimin (baik Asy’ariah maupun Mu’tazilah) dan mereka yang berpura-pura paham tentang filsafat…akhirnya, dalam cahaya iman dan bantuan Tuhan, teranglah bagiku bahwa deduksi mereka sangat absurd dan jalan yang ditempuh menyesatkan. Karena itu, aku serahkan diriku di hadirat Tuhan dan tuntunan Rasul pemberi peringatan. Maka aku yakin akan akidah mereka dan meneguhkannya. Aku tak pernah memberikan pembenaran imajinatif atas kebenaran atau merumuskan metode yang dialektis. Aku melangkah dalam Jalan petunjuknya dan berusaha untuk menahan dari apa yang dilarangnya. Aku lakukan itu untuk menunjukkan kepatuhanku pada firman Tuhan yang agung: Apapun yang diperintahkan Rasul maka ambillah. Apapun yang dilarang Rasul, jauhilah (QS. Al-Hasyr: 7) ́Akhirnya, Tuhan membuka mataku pada apa yang semestinya aku lihat dan menghadiahi aku karena ketaatanku kepadaNya dengan kemenangan dan keselamatan.
Sebagaimana Sadra mencapai pengetahuan tentang kebenaran dengan mendekatkan diri kepada Allah, ia juga menyampaikan pemikirannya untuk membawa orang agar berjalan menuju Allah. Ibrahim Kalin menyebut filsafat Mulla Sadra sebagai “ontologi metafisik”, karena bagi Mulla Sadra telaah tentang wujud bukan hanya penelitian tentang sifat-sifat sesuatu atau proposisi eksistensial. Pembahasan tentang wujud bukan hanya sebuah sistem filsafat yang berdasarkan pada pemikiran wujud yang abstrak tetapi sebuah “doktrin keselamatan”, sebuah pencarian yang disebut Rudolph Otto, mistikus Barat, sebagai “saving actualities“. Al-wujud, konsep sentral Sadra adalah wajah Tuhan yang diarahkan ke alam. Pembahasan wujud adalah satu langkah untuk menyingkap aspek Yang Ilahi, yang menjadi sumber segala wujud dan pengetahuan.
Pengetahuan tentang wujud diperlukan untuk mencapai pengetahuan ketuhanan. Jika orang tidak menyadari hakikat wujudnya, ia tidak akan mampu memperoleh pengetahuan lainnya. Sadra menjelaskan:
Karena problem wujud adalah dasar prinsip penilaian dan masalah ketuhanan, sekaligus pusat yang kokoh untuk berputarnya Keesaan, Kebangkitan, Kehidupan kembali roh dan tubuh, dan sebagainya, orang yang tidak memliki pengetahuan tentang wujud akan kehilangan kesadaran tentang banyak prinsip dan ajaran ilahi. Kejahilannya tentang masalah ini akan menyebabkannya kehilangan aspek rahasia dari ilmu ketuhanan.
Walhasil, bagi Sadra, seperti dirumuskan oleh Phitagoras dahulu kala, filsafat bukan hanya sofos, kearifan, tetapi juga philos, cinta. Cinta berkaitan dengan kebajikan, virtue. Para filusuf besar Yunani seperti Phitagoras, Socrates, Plato, Aristoteles, bericara tentang cara meraih kebahagiaan, eudomania, dengan melakukan kebajikan yang disimpulkan dari renungan falsafahnya. Di dunia Barat sekarang, filos dan sofos ini sudah dipisahkan. Pada awal perkembangan filsafat Islam, para filusuf Islam seperti Al-Farabi, dengan setia mengikuti Guru-guru Yunani mereka-menggabungkan pemikiran filsafat dengan kebajikan. Sayangnya, mereka begitu setia, sehingga kebajikan yang mereka ajarkan juga adalah kebajikan Yunani. Pada Hikmah Muta’aliyah, Sadra mengawinkan metafisika dengan “praxis”, pemikiran dengan kebajikan—dan kebajikannya adalah kebajikan Islam.
Salah satu doktrin metafisik yang utama dari Sadra adalah harakat jawhariyah, gerakan-saya lebih senang menggunakan kata transformasi—substansial. Semua makhluk berubah bukan hanyapada aksidennya, tetapi juga pada substansinya. Ketika kulit muda saya berubah menjadi keriput, saya mengalami perubahan aksidental. Tetapi menurut Sadra, saya berubah lebih dari itu. Seluruh “aku” saya berubah juga. Saya sekarang bukan saya yang dahulu. Ibnu Sina—yang menolak harakah jawhariyah—berkata, “Jika ada harakah jawhariyah, maka Ibnu Sina nanti bukanlah Ibnu Sina sekarang.” Memang begitu, kata Sadra. Semua “ada” mengalami perubahan dalam intensitasnya, lebih kurang atau lebih banyak, lebih intensif atau lebih de-intensif.
Jika kita memperhatikan adanya perbedaan di antara orang-orang dalam hal kecantikan atau kecerdasan, kita sedang menyaksikan perbedaan intensitas wujud yang terjadi karena harakat jawhariyah itu. Orang yang satu bukan saja lebih cerdas, lebih indah, tetapi juga lebih “mengada” dari yang lain. Mulla Sadra berbicara tentang proses mengada; lalu apa hubungannya dengan hakikat, atau kebenaran yang dicari oleh para filusuf? Makin intensif wujud kita, makin tinggi kualitas kebenaran yang kita peroleh. Bagaimana caranya kita mencapai intensitas wujud yang setara dengan kualitas kebenaran? Menurut Sadra, dengan menjalankan kebajikan yang diajarkan oleh Al-Quran, Sunnah Nabi Saw, dan teladan para Imam.
Harakat Jawhariyah dimulai pada semua makhluk—ketika Tuhan berfirman: Kun fa yakun (Al-Quran). Semua makhluk harus merespon perintah ini. Inilah al-hukm al-takwini, hukum yang “membuat ada”. Tidak ada yang bisa terlepas dari hukum ini. Semua berevolusi, bergerak, berubah ke atas atau ke bawah. Khusus untuk makhluk yang punya kebebasan berkehendak (free will) di dalam gerakan ini masih ada gerakan yang lain. Gerakan ini dimulai dengan perintah Tuhan yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Inilah al-hukm al-tadwini. Gerakan pertama adalah keniscayaan. Gerakan yang kedua adalah pilihan. Mulla Sadra menyebutnya dengan berbagai istilah-harakah iradiyyah (gerakan dari keinginan), harakah ikhtiyariah (gerakan karena pilihan), harakah ‘aradhiyah (gerakan aksidental). Menurut Mulla Sadra:
…disebut gerakan aksidental karena mengikuti modus jiwa dalam hubungannya dengan dorongan agama (bâ’ith dînî), dan gerakan ini berjalan di atas jalan tawhid dan jalan orang yang meyakini tawhid (muwahhidan) di antara para Nabi (anbiya’) and kekasih Tuhan (awliya“) dan mereka yang mengikutinya (atbå’). Inilah yang dimaksud dengan firmanNya, “Ihdinash shirât al-mustaqim.
Walhasil, bagi Mulla Sadra, filsafatnya bukanlah semata-mata latihan mental, tetapi juga peta perjalanan bagi jiwa dalam menyempurnakan dirinya; untuk bergerak secara sadar dengan mengantarkan potensi pada aktualisasi. Jiwa—atau dzin dalam istilah Sadra—”adalah potensi diri untuk memperoleh pengetahuan yang belum dicapainya” (Asfar 3:515,325.35). Jiwa manusia atau diri—nafs—pada mulanya hanyalah kumpulan potensi. Salah satu di antaranya adalah potensi untuk mempersepsi, quwwah mudrikah. Kata Arab untuk potensi itu ialah quwwah, yang sering diterjemahkan sebagai fakultas.
Untuk selanjutnya, saya mengutip penjelasan William Chittick:
Tujuan eksistensi manusia ialah mengantarkan potensialitas jiwa ke aktualitas. Pada permulaan penciptaan, diri manusia itu kosong dari pengetahuan apa-apa. Sebaliknya, makhluk yang lain diciptakan dengan pengetahuan perkara yang diaktualiasasikan, dan ini mengokohkan mereka pada identitasnya yang khas. Karena jiwa manusia diciptakan tanpa mengetahui apa pun, ia punya potensi untuk mengetahui segala sesuatu. Karakteristik inilah yang membuat manusia untuk bertransmutasi menjadi akal yang bertindak (al-aql bil fi’l)….
Walaupun pada mulanya…roh manusia hanya sekedar potensi, kosong dari obyek persepsi (ma’qulat), ia punya kemampuan untuk mengetahui realitas dan bergabung (ittishal) dengan semuanya. Berikutnya, pengetahuan sejati (irfan) tentang Tuhan, alam ruhaniahNya (malakut) dan tanda-tandaNya (ayat) adalah tujuan akhir…Pengetahuan adalah yang pertama dan yang terakhir (3:515- 16, 362.2).
Persepsi mengaktualkan pengetahuan potensial jiwa. Aktualitas menuntut aktivitas. Sadra menegaskan bahwa para filusuf yang berbicara tentang persepsi sebagai jiwa yang ditanamkan padanya ma’qulat tidak mengerti hakikat persepsi yang sebenarnya, karena persepsi lebih dekat dengan aktualitas dan aktivitas ketimbang pada reseptivitas (sekedar menerima saja).
Hubungan antara yang dipersepsi dengan esensi yang mengetahui adalah hubungan antara yang dijadikan (maj’ul) dengan yang menjadikan (ja’il), bukan hubungan menetap (hulul), atau membuat kesan (inthiba“). -8:251, 70.35
Dalam hubungannya dengan ma’qulat imaginal dan sensori, jiwa lebih menyerupai aktor yang mencipta (al-fa’l al-mubdi’) daripada tempat yang menerima (al-mahall al-qübil).
Dalam pembahasan tentang penglihatan (dalam pengalaman keagamaan —JR), Sadra memberikan contoh bagaimana jiwa bertindak melalui persepsi. Setelah menolak teori para ahli ilmu alam, dan matematika, serta Suhrawardi, ia menulis:
Penglihatan terjadi melalui konfigurasi bentuk yang sama dengan benda, dengan kekuatan Tuhan, dari alam kejiwaan atau ruhaniah. Bentuk dipisahkan dari materi eksternal dan hadir pada jiwa yang mempersepsi. Bentuk bertahan karena jiwa sebagaimana tindakan bertahan karena ada pelakunya, bukan karena sesuatu yang diterima bertahan dalam wadahnya (8:179-180, 768.8).
Setelah berkata begitu, Sadra memperluas argumennya, dengan menunjukkan bahwa penglihatan adalah salah satu contoh aturan umum persepsi, yakni pelaku persepsi bersatu dengan yang dipersepsi. Prinsip inilah yang dibuktikan oleh Mulla Sadra di bawah topik “kesatuan aql dan ma’qul” (ittihad al-‘aqil wa I ma’qul), yang menjadi salah satu batu penyangga filsafatnya.
Buku yang Anda pegang sekarang, yang ditulis oleh salah seorang di antara murid saya yang paling cerdas, akan menjelaskan konsep ini ittihad al-‘âqil wa al-ma’qul (Selanjutnya saya menggunakan istilah akal dan ma’kul) —secara lebih terperinci. Cukuplah di sini saya menguraikan tiga tahap persepsi yang berkaitan dengan tiga tahap eksistensi yang dipersepsi:
Tahap persepsi yang pertama adalah persepsi indrawi (hiss). Dengan menggunakan pancaindra secara bersama-sama (musytarak), kita menemukan bentuk dalam modus yang masih terikat dengan materi (material embodiment). Pada tahap ini, bentuk tidak terpisah dari atribut aksidental. Atribut-atribut itu juga yang memungkinkan indra kita mencerapnya.
Tahap kedua adalah imajinasi (khayyal, takhayyul). Di sini terjadi persepsi tentang perkara-perkara yang dapat dicerap melaului alat indra, dengan segala karakteristik dan sifatnya. Tetapi berbeda dengan persepsi indrawi, pada tahap ini tidak diperlukan kehadiran obyek persespi. Pada tahap ini digabungkan juga tahap wahm, yang diterjemahkan Sayyid Hussein Nasr sebagai “sense-intuition“. Di sini jiwa memberikan makna universal pada obyek sensori yang partikular.
Tahap ketiga, tahap tertinggi, adalah tahap akal (taʼaqqul). Inilah tahap ketika jiwa mempersepsi sesuatu hanya pada quiddity semata-mata. (Ketika filusuf bertanya “adakah dia?”, ia sedang bertanya tentang eksistensi atau wujud. Ketika ia bertanya “apakah dia itu?” ia sedang mencari jawaban tentang keadaan dia atau mahiyah atau quiddity).
Ketiga tahap persepsi ini berhubungan dengan tiga tahap eksistensi. Setiap tahap eksistensi disebut alam. Dalam bahasa Arab, kata alam berasal dari satu akar kata yang sama dengan ilm. Sehingga kamus mendefinsikan alam sebagai “Sesuatu yang dengannya kita menjadi tahu.” Jadi alam adalah obyek ilmu, obyek pengetahuan, obyek persepsi. Masing-masing dari tiga tahap persepsi mengantarkan kita pada alam yang berbeda. Tahap pengindraan hanya mampu mencerap alam indrawi. Tahap imajinasi memiliki kemampuan mencerap alam indrawi dan juga alam khayali. Tahap taaqquli memiliki kemampuan mencerap sampai kepada universal.
Perpindahan dari tahap yang rendah ke tahap yang tinggi ditandai dengan keterlepasan dari materi (tajarrud). Makin tinggi tahap eksistensi, makin terlepas dari materi, makin intens dan makin dalam persepsi kita. Dalam gerakan jiwa untuk mempersepsi tahap-tahap alam itu, jiwa mengalami transformasi eksistensial. Dalam bahasa Chittick, the more intensely soul perceives, the more intensely it exists. Perubahan persepsi adalah perubahan eksistensi. Mencerap sekaligus mengada! Inilah kesatuan akal dan ma’kul.
Sebagai pengamat awam tentang filsafat, saya menulis pengantar ini untuk memberikan apresiasi kepada Khalid al-Walid yang meperkenalkan filsafat Islam yang sejati, di tengah-tengah perhatian orang pada filsafat Barat atau filsafat Muslim (yang belum tentu berpegang pada kebajikan Islam). Sebagai mubalig, saya ingin mengingatkan jamaah saya bahwa kita dapat menempuh perjalanan menuju Tuhan tanpa harus mengesampingkan pemikiran rasional, seperti yang sudah dilakukan Mulla Sadra. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).