
Para sahabat sedang berkumpul bersama Rasulullah saw.. Tiba-tiba Rasulullah saw. berkata, “Sebentar lagi akan muncul di depan kalian seorang penghuni surga!” Tidak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki Anshar. Janggutnya basah dengan air wudhu. Ia mengepit sandal di tangan kirinya. Esoknya, Nabi berkata seperti itu, dan sekali lagi muncul orang yang sama. Begitulah peristiwa itu berulang sampai tiga kali. Pada kali yang ketiga, setelah Rasulullah saw. meninggalkan tempat, Abdullah bin Amr menyusul orang itu. Ia berkata, “Aku bertengkar dengan bapakku. Aku bersumpah tidak akan datang ke rumah bapakku selama tiga hari. Maukah Anda menerimaku sampai waktu itu berlalu.” Orang itu menjawab, “Tentu saja.”
Selama tiga hari, Abdullah tinggal bersama orang itu. Ia tidak melihat orang itu bangun pada malam hari, kecuali ketika membalikkan tubuhnya ia membaca zikir dan takbir. Ia bangun menjelang subuh. Abdullah berkata, “Setelah lewat tiga malam, aku hampir-hampir meremehkan amalnya. Aku berkata terus terang kepadanya: Wahai hamba Allah, sebetulnya aku tidak bertengkar dengan ayahku. Ayahku tidak marah dan aku tidak menjauhinya. Tetapi, aku mendengar Rasulullah saw. Berkata tiga kali “Akan muncul salah seorang penghuni surga”. Sesudah itu, tiga kali Anda muncul. Aku ingin mengetahui amal Anda. mudah-mudahan aku dapat menirunya. Aku melihat Anda tidak melakukan amal-amal yang luar biasa. Jadi, sebetulnya apa amal yang Anda lakukan sehingga Anda sampai kepada apa yang dikatakan Rasulullah saw.?”
Orang itu berkata, “Aku tidak lebih dari apa yang telah Anda lihat.” Ketika Abdullah sudah membelakanginya. Ia memanggilnya lagi. Ia berkata, “Aku memang tidak lebih dari apa yang Anda lihat. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan niat jelek, kebencian, atau dengki terhadap kebaikan yang telah diberikan Allah kepada orang Islam yang lain.” Kata Abdullah, “Hadza llati qad balaghta bika wa hiya ilati la uthiq.” Itulah yang menyebabkan Anda sampai pada kedudukan Anda. Tetapi, itu juga tidak mampu aku lakukan.” (Hayat al-Shahabah 2:530-532).
Itulah salah satu tanda penghuni surga menurut hadis. Menurut Al-Quran, para penghuni surga juga hatinya bersih dari kedengkian. Al-Quran berkata:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ عِلَ اِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍمتَقْبِلِينَ
Dan telah Kami hilangkan segala kedengkian yang ada di dalam hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara, berhadap hadapan duduk di atas kursi panjang (OS. Al-Hijr [15]: 47).
Selepas Perang Jamal, Ali bin Abi Thalib mengutip kembali ayat di atas. Seperti Anda ketahui, pada Perang Jamal, para sahabat Nabi saw. berperang satu sama lain. Pada satu pihak, ada Thalhah, Zubair, Aisyah binti Abu Bakar dan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Karena Aisyah, pemimpin pasukan, mengendarai unta, maka pasukannya disebut ashab al-jamal. Pada pihak lain, ada Ali, Ibnu Abbas, Ammar dan Muhammad bin Abu Bakar, yang mewakili pihak pemerintah yang berkuasa.
Di medan pertempuran, seseorang bertanya kepada Ali, “Apakah ashab al-jamal itu kaum musyrik.” Kata Ali, “Justru mereka lari dari kemusyrikan.” Kata orang itu lagi, “Kalau begitu, mereka kaum munafik.” Kata Ali, “Orang-orang munafik hanya sedikit berzikir.” Kalau begitu, siapakah mereka itu?” tanya orang itu lagi. Ali menjawab singkat, “Mereka adalah saudara- saudara kita yang melawan kita.”(Al-Baihaqi 8:173).
Pada perang itu, pasukan Ali menang. Thalhah terbunuh. Usai perang, Umran, putra Thalhah, menemui Ali. Ali menyambutnya dengan penuh penghormatan. Ia menanyakan ihwal keluarganya satu persatu. Ia menegaskan jika keluarga Thalhah mengalami kesulitan, jangan ragu-ragu menghubunginya. Ia mengembalikan tanah Thalhah yang pernah ditahannya sementara karena khawatir orang-orang akan merampas hasilnya.
Ali menghampirkan Umran ke dekatnya seraya berkata, “Aku ingin Allah menjadikan aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang disebutkan Allah dalam Al-Quran: Dan telah Kami hilangkan segala kedengkian yang ada di dalam hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara, berhadap-hadapan duduk di atas kursi panjang.” Di antara yang hadir, ada yang menggerutu, “Allah lebih adil lagi. Tidak mungkin mereka yang kita perangi menjadi saudara kita di surga.” Mendengar itu, Ali berkata, “Siapa lagi dua bersaudara yang paling jauh dipisahkan bumi Allah selain aku dan Thalhah.” (Hayat al-Shahabah 3:22-23; Tafsir Al-Durr al-Mantsur 5:85).
Alangkah indahnya ucapan Ali. Mengapa kita memandang Muslim yang lain, yang mazhabnya berbeda dengan kita sebagai saudara yang dipisahkan oleh bumi Allah? Seperti Abdullah bin Amr, kita juga mengagumi akhlak penghuni surga itu, tetapi merasa tidak mampu berbuat seperti itu. Hanya karena orang Islam yang lain itu tidak sepaham dengan kita, kita tidak ingin melihat dia bersama kita. Tidak jarang kita tidak bisa tidur karena melihat orang itu lebih maju dari kita. Kita boleh jadi selalu bangun tengah malam, tetapi sebelum tidur kita masih menyimpan kebencian kepada sesama Muslim. Sungguh, hari ini kita merindukan kemunculan para penghuni surga! JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).