Memaafkan

Saya pernah menjadi korban fitnah. Dituduh telah melakukan sesuatu yang sesungguhnya tak pernah saya lakukan. Saya merasa dikhianati. Secara tidak langsung, itu adalah pengusiran. Saya pun pulang ke Bandung dengan perasaan depresi. Sedemikian sakit hati, terlintas ingin membalas dendam. Ini respons alamiah, menurut saya. Dan, memang, keinginan membalas dendam itu benar-benar menjadi beban pikiran, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, kepercayaan kepada orang lain hilang. Dan, semua itu akan sirna, hati ini akan sembuh dan lega, jika dendam itu dilampiaskan. Kebetulan, ada orang-orang di sekitar Tanjung Priok, Bekasi, dan sekitarnya, yang menganggap saya ustaz, guru mereka. Mereka itu para preman yang siap menjadi kaki tangan jika saya ingin melampiaskan dendam, siap melakukan sesuatu bahkan yang paling berisiko sekali pun. Saya bilang, jangan. Pun seandainya mesti balas dendam, saya sekadar ingin memberi pelajaran kepada orang-orang yang memfitnah saya itu. Tapi, semua itu saya urungkan. Saya pulang saja ke Bandung.

Saya ceritakan peristiwa itu kepada istri dan anak-anak saya. Mereka tampak muram mendengar cerita saya. Rupanya saya masih menyimpan sakit hati. Di depan mereka, saya berceloteh bahwa saya benar-benar ingin membalas dendam.

Tiba-tiba, anak laki-laki terbesar saya, yang dikenal pendiam di keluarga, berkata, “Hidup bahagia adalah cara membalas dendam yang paling baik.” Hati saya langsung tersentuh mendengar ucapannya itu. Maksudnya, yang terjadi, ya, sudahlah. Perhatian kita jangan dihabiskan untuk meratapi masa lalu. Kehidupan yang kita dapatkan dan kebahagiaan yang kita fokuskan di keluarga ini, saat ini, sudah cukup untuk mengobati sakit hati tanpa harus membalas dendam kepada orang yang menyakiti hati.

DALAM Al-Quran disebutkan, Balaslah perbuatan mereka setimpal dengan apa yang mereka perbuat kepadamu. Namun, jika kau lebih memilih menahan diri, itu lebih baik (al-Nahl:125).

Jadi, menurut Al-Quran, obat terbaik untuk menyembuhkan sakit hati adalah tak membalas sakit hati, menahan diri untuk kemudian memaafkan. Bagaimana caranya? Pertama, sadari bahwa yang mereka lakukan kepada kita adalah sebuah kesalahan. Dan, jika mereka menyakiti kita maka barangkali kita pun pernah menyakiti hati orang lain. Apa yang akan terjadi jika kehidupan dunia penuh dengan aksi balas dendam?!

Kedua, lepaskan hak untuk membalas, menahan diri. Coba, perhatikan ayat di atas, kita hanya diperbolehkan—dan itu hak—membalas perlakuan menyakitkan, dengan perlakuan yang serupa. Namun, ini sangat sulit, apalagi jika hati dan perasaan kita ikut sakit. Sebab, barangkali sudah menjadi kecenderungan bahwa kita akan sangat puas jika sudah melakukan pembalasan dengan hal yang lebih buruk. Dan, itu sesungguhnya tak menghapus sakit hati. Jika demikian, kita akan terjerumus pada kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk dari kesalahan orang yang menyakiti hati kita. Maka, agar tak terjerumus pada kesalahan itu, lebih baik menahan diri, tak membalas, untuk kemudian memaafkan.

Ketiga, setelah memahami dan melepaskan hak membalas, dan ini yang paling berat, adalah mencintai orang yang menyakiti hati kita.

Kapan maaf kita berikan?

Maaf diperlukan ketika luka yang kita derita begitu dalam, mungkin berkepanjangan, dan tak terlupakan. Sebab, jika tidak memaafkan, luka itu justru akan semakin dalam, semakin berkepanjangan, dan semakin lama akan semakin mengarat di hati. Dengan tidak memaafkan, berarti kita sedang merajut kepedihan hati sendiri, terus-menerus.

Kalau kesalahan kecil, luka-luka kecil, tentu mudah dilupakan dan cepat sembuh. Dan, secara otomatis termaafkan. DI Pasca Sarjana Unpad, saya pernah meminta para mahasiswa memfotokopi buku saya. Saat dikembalikan, buku itu jadi kotor, basah, padahal itu buku baru. Saya tanya mereka, apakah kotor dan basah buku itu sudah ada tiga minggu lalu sejak saya meminjamkan atau baru saja. Salah seorang dari mereka menjawab bahwa kotor dan basah itu sudah lama. Saya tahu mereka berbohong, mungkin agar tak disalahkan. Seketika saya tersinggung dan sakit hati. Saya bilang kepada mereka bahwa ada dua makhluk yang saya cintai di dunia ini: istri saya dan buku. Dan, mereka telah mengotori dan merusak salah satunya.

Bukan hanya karena itu saya sakit hati, melainkan karena mereka juga telah berbohong. Tidak mungkin basah buku itu sudah tiga minggu sejak saya pinjamkan. Sebab, sebasah apa pun, tidak akan selama itu.

Mereka tahu saya marah. Lalu, mereka pun minta maaf. Saya bilang kepada mereka, jika tidak memaafkan, saya akan lebih menderita daripada sekadar sebab buku saya yang rusak.

Nah, yang sulit itu mempraktikkan cara memaafkan yang ketiga, yaitu mencintai orang yang berbuat salah. Wah, kalau seperti itu, nanti para mahasiswa saya akan tidak bertanggung jawab dan akan merasa tenang jika kelak kembali merusak buku saya.

Jadi, yang ketiga itu memang tak mudah, tapi tak berarti mustahil. Dan, yang seperti itu harus dilatih.

MAKA, jadilah seorang pemaaf. Sebab, kebaikan maaf ternyata justru berpulang kepada diri kita, yaitu mengobati rasa sakit hati. Saya yakin, orang yang mudah memaafkan adalah orang yang hidupnya bahagia. Sebab, memaafkan tidak lahir kecuali dari hati yang bahagia. JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *