Deadly Emotion

Saya pernah ke rumah sakit untuk menjenguk seorang bapak yang mengalami pendarahan di gusinya. Cukup parah. Hampir 24 jam pendarahan itu tak berhenti. Menurut dokter yang menanganinya, ada pembuluh darah yang pecah di gusi bapak itu.

Saya sempat bincang-bincang dan bapak itu mengatakan bahwa bisa jadi pendarahan di gusinya itu disebabkan stres yang ia alami sebelumnya …

Ceritanya, bapak tersebut hendak menjual vila. Seseorang kemudian bersedia membelinya. Transaksi keduanya pun terjadi. Soal harga pun sudah disetujui. Namun, anak-anak bapak itu tidak setuju. Mereka protes. Mereka seperti melihat ada gelagat tidak baik dengan mitra transaksi bapaknya. Si bapak pun akhirnya menuruti permintaan anak-anaknya, membatalkan transaksi. Orang yang menjadi mitra transaksi seketika marah karena pembatalan transaksi itu dilakukan sepihak. Seumur hidupnya, baru kali itu si bapak bertemu dengan orang yang marah besar. Kaget. Sebab itu, kemudian ia hampir mengalami pendarahan di gusinya.

Bapak itu merasa bersyukur anak-anaknya memprotesnya agar membatalkan transaksi. Jika tidak, barangkali ia sudah tertipu besar-besaran. Ia bercerita, untuk ketiga kalinya, ia hampir menjadi korban penipuan.

Bapak itu kemudian menanyakan soal pembatalan transaksi itu. Saya katakan bahwa kita tidak boleh berprasangka buruk kecuali dalam tiga hal, salah satunya soal kepercayaan, termasuk transaksi bisnis (dua hal lainnya adalah terhadap musuh atau jika berada di lokasi tak aman, dan dalam mempelajari agama, seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelum ini). Kita harus berhati-hati dalam memberikan kepercayaan kepada orang. Kita harus benar-benar kenal orang tersebut agar tidak tertipu. Dalam soal ini, kita mesti waspada, mendahulukan prasangka bahwa tidak semua orang dapat dipercaya sampai kemudian kita bisa membuktikan sebaliknya. Barulah kemudian kita memberi kepercayaan atau melakukan transaksi.

Prasangka buruk yang tak pada waktu dan di kondisi yang tepat dapat menjadi penyebab deadly emotion.

Akan saya nukil firman yang menggambarkan deadly emotion, yaitu surah al-An’am:125-127: Siapa yang dikehendaki mendapat hidayah, Allah akan melapangkan dadanya. Siapa yang dikehendaki sesat, Allah akan membuat sesak dadanya serupa orang yang naik ke langit. Begitulah Allah menimpakan beban kepada orang-orang yang tak beriman. Inilah jalan lurus Tuhanmu. Kujelaskan ayat-ayatku kepada orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Mereka akan mendapatkan surga, rumah kedamaian, dari Tuhannya. Dia akan menjadi pelindung bagi mereka sebab amal saleh yang mereka kerjakan.

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan deadly emotion sekaligus obatnya. Allah menyebut “sesak dada”, seperti orang yang hilang harapan hidup, gundah, penuh prasangka, dan gejala deadly emotion lainnya. Lalu, Allah menawarkan, Inilah jalan lurus Tuhanmu, agar sesak dada dan gundah menghilang, kembali menemukan harapan hidup.

Seperti telah saya singgung dalam tulisan sebelum ini bahwa musibah adalah keniscayaan hidup. Siapa pun tak akan lolos jika Allah telah menimpakan musibah. Namun, seiring dengan itu, Allah juga mengajarkan kepada bagaimana menghadapi dan menyikapi musibah, yaitu dengan mengambil pelajaran, melihat sisi positif dengan berpikir positif. Dari situlah tak semua orang yang tertimpa musibah akan menderita, mengalami deadly emotion.

Pada awal-awal dakwah, Rasulullah juga mengalami emosi-emosi negatif, kecewa, sedih, frustrasi, putus asa, sebab, tak sedikit yang menolak dakwahnya, tidak memercayai Al-Quran yang disampaikannya. Dalam surah al-Kahf ayat ke-6 disebutkan, Sekiranya mereka tidak memercayai Al-Quran, barangkali kau akan membunuh dirimu sendiri karena sedih, meratap, setelah mereka berpaling.

Tak hanya itu, Rasulullah dan Para sahabatnya bahkan pernah diasingkan di sebuah lembah, diisolasi dengan dunia luar. Keadaan ini benar-benar membuatnya sulit dan berduka, sampai Allah harus menghiburnya, dengan menurunkan di surah: al-Dhuhâ dan al-Insyirâh. Perhatikanlah kandungan kedua surah itu:

Demi pagi saat matahari di sepenggalah, demi malam sunyi … Tuhanmu tak sedang meninggalkanmu, pula tak sedang benci. Sungguh, pada akhirnya akan lebih baik daripada saat ini. Tuhanmu akan memberimu anugerah, lalu kau pun puas. Bukankah Ia mendapatimu sebagai yatim, lalu Ia melindungimu?! Bukankah Ia melihatmu sedang bingung, kemudian Ia memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu Ia mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang-wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta-minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhâ: 1-11)

Bukankah sudah kulapangkan dadamu, kuturunkan beban berat di pundakmu, dan kumuliakan namamu?! Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jika telah selesai dengan satu pekerjaan, bersiaplah pada pekerjaan selanjutnya. Dan, kepada Tuhanmu semata hendaknya kau berharap (al-Insyirah: 1-8)

Allah menurunkan dua surah tersebut sebagai hiburan agar Rasulullah tak mengeluh dan larut dalam derita isolasi dan pengasingan. Allah mengatakan bahwa isolasi dan persasingan itu bukan tanda Ia sedang tak membenci dan meninggalkan Rasulullah. Allah juga mengingatkan, jika Rasulallah menganggap isolasi dan pengasingan membuatnya menderita maka sesungguhnya ia pernah mengalami penderitaan yang lebih, yaitu saat menjadi yatim, ditinggal orang-orang tercinta, lalu Allah melindunginya.

Sedangkan dalan surah al-Insyirah, Allah menghibur bahwa penderitaan isolasi dan pengasingan tak akan selamanya. Pada waktunya akan selesai, Rasulullah dan para sahabatnya akan kembali berada dalam kemudahan.

Jika kita membaca dua surah itu dengan memahami konteksnya, kita akan tahu bahwa keduanya menyodorkan terapi mengatasi deadly emotion.

DALAM bahasa Al-Quran, deadly emotion disebut dengan “penyakit hati”. Al-Quran menuturkan, Dalam hati mereka terdapat penyakit. Lalu, Allah tambahkan penyakit itu (al-Baqarah: 10).

Begitu Al-Quran bertutur. Dalam bahasa kita, jika tidak diredam dan dikendalikan maka emosi jiwa akan semakin membengkak membentuk dendam. Lalu, emosi sering kali lebih buruk daripada penyebabnya.

Aristoteles pernah mengatakan, boleh saja kita marah, tapi marahlah kepada sasaran yang tepat, pada waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Namun, jangan berkepanjangan. Pula, jangan terlalu lama memendam emosi, sebab, akan melahirkan dendam.

Maka, orang yang sedang marah dan menderita stres hasrus mendapatkan pendampingan dan tempat mencurahkan perasaan agar kemarahannya tak berubah menjadi dendam.

SUATU saat, tengah malam, salah seorang cucu saya data ke rumah sambil menangis. Ceritanya, cucu saya itu bertengkar dengan adiknya sampai menanggalkan gigi si adik. Dia datang kepada saya mungkin hendak mencari perlindungan agar tak dimarahi ibunya sebab telah melukai si adik. Dia terus menangis. Saya membujuknya agar mau berhenti, tapi tidak mau. Saya pun marah, kesal karena waktu tidur saya terganggu. Tentu saja, marah yang proporsional untuk anak kecil. Bukannya berhenti, tangisannya malah menjadi-jadi. Namun, setelah beberapa lama, akhirnya dia berhenti menangis. Esok paginya, saya antar cucu saya itu pulang ke orangtuanya.

Saat datang ke rumah, si adik sedang tertidur. Cucu saya itu kemudian mendekatinya, lalu mencium pipinya sambil bergumam, “I’m so sorry, Baby.” Ia lakukan itu berkali-kali, barangkali karena menyesal telah melukainya.

Jadi, anak kecil juga bisa mengalami stres, seperti cucu saya itu, yang disebabkan oleh perasaan benar-benar bersalah karena telah melukai adiknya. Perasaan bersalah seperti itu bisa menjadi salah satu penyebab deadly emotion, apalagi yang menjadi korban adalah orang terdekat dan tercinta. Nah, pada saat seperti itu, dia seharusnya mendapatkan dukungan dari orang-orang sekitarnya agar stresnya hilang. Pada saat itu, saya salah, karena memarahinya justru pada saat dia membutuhkan perlindungan dan dukungan. Saya malah membuatnya tambah stres. JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *